Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pada Pemilu 2024, Omong Kosong Bisa Lebih Berbahaya daripada Kebohongan

31 Oktober 2023   12:05 Diperbarui: 1 November 2023   08:12 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang miskin yang merasa diperlakukan tak adil oleh penguasa, saya semakin menyukai paslon A. Saya merasa pidato mereka benar-benar menyuarakan semua keluhan saya, dan tak pelak lagi saya akan membela mereka hingga ke tepiannya.

Tapi, siapa elite yang dimaksud? Rencana jahat macam apa yang mereka bicarakan? Bisakah saya, atau bahkan para ahli sekalipun, memeriksa pernyataan itu dan membuktikannya salah? Itulah omong kosong.

Berbohong sebenarnya merupakan pekerjaan berat. Kita harus tahu faktanya dulu, baru kita mencari cara bagaimana kita bisa menghindari fakta itu dan, sebagai hasilnya, meningkatkan citra kita di mata pemilih.

Kandidat yang membual, sebaliknya, tak perlu repot-repot mengetahui fakta, atau bahkan memedulikannya. Mereka hanya perlu mengatakan apa pun (benar-benar apa pun) supaya pemilih menyukainya dan mendukung mereka dalam pemungutan suara.

Mari kita sederhanakan lagi: kita sering kali memilih kandidat tertentu bukan berdasarkan alasan-alasan yang rasional, melainkan perasaan; jika omong kosong berarti memanjakan perasaan pemilih, benar atau salah, baik atau buruk, ini adalah mesin suara yang mudah.

Dalam pengertian ini, politik pada dasarnya adalah praktik emosional.

Kebohongan, selain lebih menguras pikiran dan tenaga, juga berisiko tinggi jika suatu waktu sang pembohong ketahuan menipu. Omong kosong, di sisi lain, bukan hanya lebih gampang diotak-atik dalam rangka menggaet pemilih, tapi juga lebih sulit dibantah.

Jika ada bantahan, seorang pembual akan mengarang cerita lainnya.

Perhatikan Donald Trump. Para pengamat dan analis politik agak terkejut ketika dia menang Pemilu 2016 di Amerika Serikat. Selama dia menjabat, rentetan kebohongan muncul pada setiap pidatonya; para pengamat dan analis politik mudah untuk menyangkalnya.

Namun, pada banyak kesempatan pula, Trump menguraikan data-data statistik yang mendukung rasisme dan Islamofobia-nya. Dia mengklaim bahwa data tersebut dikeluarkan oleh sebuah biro rahasia yang langsung berada dalam pengawasannya.

Di titik inilah para pengamat dan analis politik kebingungan. Bagaimana cara mengonfirmasi data tersebut jika institusi yang mengeluarkannya saja bersifat rahasia? Lucunya, sementara mereka kebingungan, Trump sedang menggaet lebih banyak pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun