Kita mungkin tak berada dalam situasi krisis membaca, tapi membaca tampaknya jadi lebih rumit. Saya bisa merasakannya. Dulu, saya bisa membenamkan diri dalam sebuah buku atau artikel yang panjang tanpa perlu berusaha keras.
Kini konsentrasi saya sering mulai buyar setelah dua atau tiga halaman. Saya menjadi gelisah, hilang arah, dan mencari hal lain untuk dilakukan. Saya berkali-kali menyeret otak saya yang bandel untuk kembali ke teks, tapi pikiran saya terus berkelana dan menggeliat.
Saya tak bisa membaca "War and Peace" lagi, bahkan sekadar tulisan blog yang terdiri dari empat atau lima paragraf. Saya telah menunda membaca "El Senor Presidente" karya Miguel Angel Asturias selama setahun lebih, dan ini bikin saya frustrasi.
Mengapa dan bagaimananya, saya tak tahu pasti. Hal yang jelas terjadi adalah bahwa saya tak membaca satu buku pun dalam empat bulan terakhir, tapi kuantitas bacaan saya dalam bentuk artikel-artikel pendek cukup mengesankan.
Selama dua tahun sekarang, saya telah menghabiskan banyak waktu online, mengeksplorasi hal-hal hebat di internet. Ketika saya membaca sebuah artikel online, setelah beberapa paragraf, pikiran saya melayang dan mendapati diri berada di situs lain.
Rentang perhatian saya telah dipotong-potong dan dikomodifikasi. Saya terlalu sibuk, terlalu malas, terlalu teralihkan. Aktivitas membaca menjadi seperti berkeliling supermarket, hanya untuk mengambil apa yang saya butuhkan dan kemudian keluar lagi.
Ketika ebook dan Kindle serta platform serupa lainnya menjamur, para ahli memberi kabar baik bahwa penulis akan memiliki lebih banyak pembaca dan lebih banyak penjualan. Tapi, mereka juga membawa kabar buruk: orang akan jarang menyelesaikan bacaan mereka.
Saya khawatir itu benar.
Membaca di layar menghambat pembelajaran
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ketika orang membaca di layar, mereka tak memahami apa yang mereka baca sebaik ketika mereka membaca di media cetak. Mirisnya lagi, banyak yang tak menyadari bahwa mereka tak memahami apa yang dibacanya.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Ada beberapa penjelasan.
Pertama, kebanyakan orang cenderung mengonsumsi konten digital dengan cara skimming dan scanning. Ini karena, berbeda ketika kita membaca novel, kita membaca konten digital biasanya hanya untuk mencari informasi tertentu secara cepat.
Kedua, membaca adalah pengalaman multi-indera. Aktivitas membaca tak hanya melibatkan penglihatan, tapi juga sentuhan. Ada sesuatu tentang memegang kertas fisik yang membuat materi di dalamnya lebih mudah diserap.
Sebaliknya, layar modern menghalangi orang untuk menavigasi teks panjang secara intuitif dan memuaskan. Kegagalan menavigasi teks bisa memengaruhi tingkat perhatian yang kita curahkan terhadapnya.
Ketiga, bacaan digital biasanya memiliki banyak distraksi: iklan, rekomendasi artikel di bilah samping artikel yang sedang kita baca, kadang gangguan internet, atau sekadar ikon games kesukaan kita di layar beranda. Orang jadinya cenderung multitasking.
Selain itu, meskipun bacaan digital lebih enak dibaca karena tampilannya bisa diatur sesuai kenyamanan masing-masing (ukuran huruf, warna, fitur-fitur tambahan), membaca terlalu lama pada layar bisa menyebabkan kelelahan mata dan sakit kepala.
Itulah mengapa, menurut studi, layar menguras lebih banyak sumber daya fisik dan mental daripada kertas. Hal ini berakibat pada kesulitan kita untuk memahami apa yang kita baca dan mengingatnya setelah selesai.
Tapi, bacaan digital tetap memungkinkan pembelajaran
Biarpun terdapat serangkaian bukti bahwa membaca digital, terutama online, mengganggu pembelajaran, bukti-bukti tersebut masih belum meyakinkan dan telah banyak dipatahkan oleh penelitian-penelitian lainnya.
Studi terdahulu melakukan eksperimen dengan meminta 50 mahasiswa untuk membaca di layar komputer dan buku fisik. Setelah 20 menit membaca, peneliti mengajukan pertanyaan pilihan ganda. Hasilnya, mahasiswa mendapat nilai yang sama baiknya, apa pun medianya.
Sebuah meta-analisis yang komprehensif baru-baru ini juga tak menemukan dampak besar dari media membaca (layar vs kertas) terhadap pemahaman membaca teks naratif. Justru, teks digital yang interaktif punya nilai tambahan untuk memahami bacaan.
Dengan bukti-bukti yang saling menegasikan ini, saya tak bilang bahwa kita sebaiknya memilih media cetak dan bukan media digital saat membaca. Saya pikir masalahnya tak terlalu bergantung pada mediumnya, melainkan jenis konten dan teknik membacanya.
Jenis-jenis konten tertentu lebih cocok untuk dibaca secara online, setidaknya menurut versi saya: jumlah penduduk Indonesia saat ini, situasi terbaru di Gaza, mengapa ada orang yang suka Boruto, atau cara menghadapi cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Di sisi lain, ada jenis-jenis konten yang lebih cocok untuk dibaca menggunakan media cetak: mengapa terjadi polarisasi politik, bagaimana awal mula alam semesta, mengapa demokrasi banyak dianut, atau karya-karya sastra.
Intinya, jika Anda benar-benar perlu mempelajari sesuatu secara mendalam, pilihlah media cetak. Menurut banyak penelitian, ketika harus mempelajari sesuatu yang relevan dengan bidangnya, mahasiswa lebih memilih media cetak daripada digital. Pilihan ini tepat.
Saya tak bilang bahwa biang keladinya adalah digitalisasi.
Terkadang kita bahkan tak punya pilihan. Saat perpustakaan dan toko buku terbatas, bacaan digital bisa menjadi penyelamat. Buku digital juga biasanya lebih murah daripada buku cetak dan, tentu saja, kita tak perlu pohon untuk memproduksi buku digital.
Terlebih, blog merupakan suatu anugerah tersendiri bagi saya yang suka menulis. Beberapa pencarian di Google, beberapa klik cepat pada hyperlink, dan saya sudah mendapatkan fakta penting atau kutipan bernas yang saya cari.
Balik lagi ke krisis pribadi saya.
Bukan karena media digital mengurangi rentang perhatian saya sehingga saya tak bisa lagi membaca "War and Peace". Teknik skimming dan scanning yang saya pakai saat membaca digital bukanlah kesalahan, tapi berhubungan dengan efektivitas dan efisiensi.
Masalahnya adalah bahwa saya membawa kebiasaan tersebut ketika saya membaca konten yang panjang dan rumit, misalnya buku-buku politik. Teknik yang "salah tempat" ini akhirnya membuat saya kewalahan dan kesal sendiri. Saya hilang keseimbangan.
Jadi, kesimpulannya, media cetak dan media digital mempunyai tempatnya masing-masing. Tak ada yang lebih baik dari yang lain, meskipun keduanya berbeda. Dan karena keduanya berbeda, berarti cara kita berinteraksi dengan keduanya juga harus berbeda.
Jika kita ingin memahami sesuatu secara mendalam dan tenggelam dalam suatu bacaan, media cetak sebaiknya menjadi pilihan utama. Terkadang, ketika saya menemukan artikel blog yang panjang dan berat, sekaligus menarik dan penting, saya mencetaknya.
Namun, jika kita ingin mencari informasi singkat secara cepat, internet tampaknya adalah pilihan terbaik. Atau, seperti yang biasanya saya lakukan, kita bisa mengombinasikan keduanya: membaca digital, tapi tangan bergerak aktif mencatatnya di kertas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H