Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menyoal Politik Dinasti di Indonesia

24 Oktober 2023   06:30 Diperbarui: 24 Oktober 2023   08:08 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coretan oleh mahasiswa di pembatas beton saat demo di Jalan Medan Merdeka Barat, Jumat (20/10/2023) | Foto oleh Xena Olivia via Kompas.com

Fungsi partai sebagai kendaraan politik telah merosot sampai ke tahap formalitas semata. Mereka yang ingin mencalonkan diri harus mengumpulkan dana sendiri, mencari publisitas yang baik, memperoleh peringkat yang bagus dalam jajak pendapat.

Dalam hal ini, politisi dinasti memiliki dua hal yang diperlukan untuk menang dalam sistem "tanpa partai" seperti Indonesia (dan negara-negara berkembang lainnya seperti Filipina): nama yang telah dikenal dan mesin pengumpulan dana.

Dengan kekuatan jaringan keluarga dan besarnya akumulasi kekayaan yang diperoleh lewat statusnya sebagai petahana, politisi dinasti menghasilkan arena persaingan yang tak setara dan secara serius menghalangi oposisi untuk merebut jabatan politik penting.

Selain itu, pada banyak kasus, meski mereka membangun dan memperkuat basis kekuasaan mereka melalui proses demokratis, mereka melakukannya dengan cara-cara yang kurang (atau bahkan sama sekali tak) demokratis.

Jaringan keluarga berguna untuk melakukan berbagai bentuk "menu manipulasi", misalnya jual-beli suara, politisasi lembaga negara dan penyelewengan keuangan negara, serta intimidasi melalui aparat negara.

Jadi, tak seperti politik dinasti di negara demokrasi maju, politik dinasti di negara kita sering kali mengeksploitasi pemilih, terutama mereka yang miskin dan kurang terinformasi, melalui aneka manipulasi dan mobilisasi yang merongrong bawah sadar mereka.

Menuju Pemilu 2024

Saya khawatir bahwa putusan MK membuat sebagian (besar) pemilih menghadapi Pemilu 2024 dalam keadaan marah. Mahasiswa di berbagai daerah masih melakukan aksi, dan para pakar telah menunjukkan kekecewaannya melalui berbagai cara.

Elite-elite di sana mungkin beranggapan bahwa kemarahan ini, seperti kasus-kasus dahulu, akan segera reda. Semua akan membaik dan Pemilu 2024, dengan begitu, bakal berjalan lancar dan damai. Saya juga berharap begitu, tapi sulit untuk mempercayainya.

Kemarahan, meskipun sesaat, selalu menimbulkan bekas: kekecewaan, ketidakpercayaan, dan yang paling buruk, keputusasaan terhadap sistem. Jika sudah begitu, polarisasi politik kemungkinan akan semakin mengental dan lebih sulit untuk diredakan.

Kini politik dinasti bukan hanya bertambah banyak, tapi juga menggemuk.

Di Eropa pada Abad Pertengahan, putra tertua mewarisi wilayah keluarga, sementara putra-putra yang lebih muda harus pergi dan mencari peruntungan di tempat lain. Kondisinya agak serupa tapi tak sama dengan politik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun