Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nyeseknya Menang Kompasiana Awards, tapi Diwakili Orang Lain

22 Oktober 2023   13:07 Diperbarui: 22 Oktober 2023   13:10 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemberian penghargaan kepada pemenang Kompasiana Awards 2022 di Bentara Budaya, Jakarta Barat | Foto oleh Zintan Prihatini via Kompas.com

Waktu itu pukul setengah empat subuh. Saya terbangun dalam keadaan linglung dan pegal-pegal, mungkin karena hari sebelumnya begitu melelahkan dan sangat larut. Namun entah mengapa otak saya seperti tersengat oleh sesuatu yang sangat mendesak.

Saya buru-buru berdiri melacak laci untuk mencari HP (saya biasanya menjauhkan HP dari ranjang), lalu saya memeriksa akun resmi Kompasiana. Tak ada apa-apa. Tangan saya gemetar, mata belum sepenuhnya terbuka, dan pikiran seperti bohlam yang korslet.

Saya lanjut membuka akun Instagram Kompasiana, menyimak story-nya satu per satu. Saya melihat pemenang Kompasiana Awards 2022 menerima hadiahnya, dan degup jantung saya jadi agak liar ketika akhirnya saya melihat pemenang kategori Best Student.

Nama saya tercantum di situ, tapi saya tak ada di sana.

(Cerita sampingan: dalam keterangannya tertulis, "Penyerahan Plakat kepada Muhammad Andi Firmansyah sebagai pemenang Kompasiana Awards kategori Best Teacher". Mungkin adminnya mengantuk karena harus update tengah malam.)

Bibir saya merekah dan mata saya mulai terbelalak. Perpaduan antara senang dan sedih membanjiri benak saya, dan ini terasa sangat aneh dan mengesalkan. Sebagai respons pertama, saya menari-nari sendirian di pinggir ranjang menirukan tarian Rumi, tanpa suara.

Selang satu menit, saya membeku kaku dengan mata membesar. Ludah saya mengental, dan menelannya membuat saya kesakitan. Momen-momen seperti sangat sulit untuk dijelaskan. Rasanya saya hanya menyesal dan ingin memeluk plakat tersebut saat itu juga.

Berhalangan hadir, katanya

Baca juga: Melankolis

Dua hari sebelum hari-H, saya dihubungi oleh tim Kompasiana untuk mengonfirmasi apakah saya bakal menghadiri Kompasianival 2022. Kebetulan waktu itu saya masih UAS dan sedang melakukan penelitian dengan dosen, jadi saya bimbang harus menjawab apa.

Akhirnya saya mengatakan bahwa saya tak bisa hadir, dan saya tak punya siapa-siapa untuk menjadi wakil saya. Lagi pula, waktu itu saya tak terlalu yakin dengan peluang kemenangan saya, mengingat ada tahap voting (pemungutan suara).

Saya kira penentuan pemenang akan sepenuhnya diserahkan pada hasil voting, dan karena saya merasa saya bukan siapa-siapa di Kompasiana, saya ragu apakah orang-orang akan memilih saya. Jadi, atas berbagai perhitungan, saya memutuskan untuk tak hadir.

Hitung-hitungan saya, tentu saja, salah total.

Usai mengetahui hasil akhirnya, ketika matahari menyengat puncak ubun-ubun, saya menghubungi dosen dan bilang bahwa saya tak bisa hadir gara-gara beliau. Kemudian beliau tertawa (karena saya memang mengungkapkan kekesalan saya dengan tawa juga).

Beliau bertanya balik, mengapa saya tak bilang tentang acara itu. Dalam hati saya berbisik, "Iya juga." Tapi mulut saya berkata lain, "Saya sungkan untuk minta izin, karena dari awal saya sudah berkomitmen untuk riset ini."

Bah, omong kosong!

Jika saya mengingatnya lagi, bukan UAS atau riset yang membuat saya berhalangan hadir di acara Kompasianival 2022, tapi suasana hati yang amat-sangat buruk. Entah karena stres, depresi, kesepian, atau semuanya, saya merasa tak punya tenaga untuk hadir.

Faktanya, saya juga tak memberitahu keluarga, apalagi teman, tentang pencapaian saya itu. Suasana hati yang buruk, saya yakin itu adalah kesepian akut, benar-benar menggerogoti saya dari dalam, membuat saya memilih bungkam seolah tak terjadi apa-apa.

Rasanya, diam adalah hal terbaik yang bisa saya lakukan, daripada berbicara dan harus menjelaskan banyak hal tentang Kompasiana Awards pada mereka. Saya merasa tak punya tenaga sebesar itu. Saya bahkan tak punya energi sama sekali untuk meminta tolong.

Anehnya, alih-alih lebih terbuka, kesepian membuat saya menghindari konfrontasi apa pun dengan orang lain.

Keluarga saya baru tahu ketika paket plakat datang. Kebetulan saya juga sedang ada di rumah karena libur semester. Mereka heboh. Saya pikir reaksi mereka akan biasa-biasa saja karena, dengan gaya sombong, ini bukan pertama atau kedua kalinya.

Tapi mereka benar-benar heboh, mungkin karena plakatnya berkilauan dengan bentuk yang berbeda dari plakat-plakat sebelumnya, atau karena mereka memang mengenal binatang macam apa Kompasiana itu. Sampai sekarang, ini masih menjadi misteri buat saya.

Intinya, sore itu juga saya diajak ke rumah makan yang cukup mewah, dan kakak perempuan tertua saya tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari keresek hitam. Kue tar! Di situ, seingat saya, tertulis "Congratulations" yang diiringi emot senyum.

Saya terkekeh dan bilang (aslinya dalam bahasa Sunda), "Kalian tak ingat sama sekali dengan ulang tahunku, tiga tahun berturut-turut, dan sekarang aku diberi kue karena aku mencapai sesuatu? Keluarga macam apa kalian!"

Semua ikut terpingkal-pingkal, dan rasanya ada penyesalan tertentu dalam ekspresi mereka, sadar bahwa mereka memang telah melupakan ulang tahun saya selama tiga tahun terakhir. Tapi, apa yang paling mengesankan bukanlah perayaan atau kuenya.

Kakak perempuan ketiga saya (ngomong-ngomong, saya punya tiga kakak perempuan) ujug-ujug mengatakan sesuatu yang telah mengubah hidup saya semenjak itu. Perkataannya sederhana sekali: "Jangan memendam semuanya sendirian."

Dia benar, saya memendam terlalu banyak dan melebihi batas saya sendiri. Ucapan itu mungkin berangkat dari kebiasaan saya yang, pada saat itu, sering murung tanpa alasan, tak menjawab telepon, dan merahasiakan hal-hal yang telah saya raih selama kuliah.

"Teteh [panggilan saya kepadanya] bakal mengapresiasi setiap pencapaianmu, andaikan kamu menceritakannya," lanjutnya.

Saya langsung membuka CV dan menunjukkan kepada mereka satu per satu pencapaian saya, di dalam maupun di luar kampus. Saya tumpahkan semua keresahan saya selama hidup sendirian sebagai anak kos dan mengapa saya tak bahagia selama setahun terakhir.

Tentu saja, itu tak terjadi; saya hanya mengarangnya. 

Apa yang sebenarnya terjadi adalah saya hanya menganggukkan kepala. Usai berbagi tawa dan lelucon, saya spontan pergi ke kamar mandi. Di sana saya tak bisa menahan air mata saya.

Kompasiana Awards 2023 dan 15 tahun Kompasiana

Setiap artikel yang saya tulis di Kompasiana punya ceritanya masing-masing: bagaimana ide tersebut lahir, proses menulisnya yang kadang tertunda berminggu-minggu, dan segala hal yang terjadi setelah publikasi.

Itulah mengapa, dalam pandangan saya, menapaki tiga ratus artikel lebih merupakan simbol dari investasi waktu, tenaga, dan pikiran daripada uraian ratusan ribu kata. Saya lebih peduli pada apa yang ada di baliknya ketimbang hal-hal di permukaannya.

Pertama kali saya dilibatkan oleh Kompasiana adalah saat saya diundang sosialisasi program "Infinite". Di sinilah saya pertama kali melihat (secara daring) Mas Nurulloh, Mbak Widha, Mas Kevin, dan Kompasianer senior yang sering mondar-mandir di headline.

Pada momen ini pula saya mengerti bahwa Kompasiana lebih dari sekadar platform menulis; ini adalah komunitas, keluarga besar, di mana setiap cerita sama berharganya. Berkat rasa dan keterikatan ini pula, saya masih bertahan.

Beberapa kali, terus terang lumayan sering, saya sempat berpikir untuk berhenti menulis di Kompasiana. Saya berencana untuk hanya fokus mencicil skripsi, artikel jurnal, buku. Sekarang saya magang di sebuah media lokal Bandung, dan saya mengisi kolom politik.

Semakin saya memikirkannya, semakin banyak rasionalisasi yang meyakinkan saya untuk berhenti (atau rehat) dari Kompasiana.

Biarpun begitu, saya tak perlu banyak alasan untuk meyakinkan saya agar lanjut menulis di sini. Saya hanya perlu satu: ini adalah keluarga, dan tak ada orang yang ingin meninggalkan keluarganya untuk alasan apa pun.

Saya telah menuangkan banyak keresahan saya di sini, dan rasanya hanya di sini keresahan saya tersebut benar-benar diperhatikan dan diapresiasi. Ini mungkin terdengar agak egois, tapi saya tak akan berbohong hanya untuk membuat pembaca terkesan.

Kini Kompasiana telah berumur 15 tahun, Kompasiana Awards 2023 sudah riuh dibicarakan, tapi saya tak punya hal istimewa untuk dikatakan selain ungkapan klise. Mungkin akan lebih tepat kalau saya mengungkapkan "dosa-dosa" saya sendiri selama menulis di Kompasiana.

Saya sering terharu ketika tim Kompasiana mengundang atau melibatkan saya ke beberapa agendanya, tapi (Ya Tuhan) saya hampir selalu berhalangan hadir untuk alasan-alasan yang pada akhirnya saya sesali sendiri. Maaf sebesar-besarnya.

Saya juga sering terharu oleh komentar-komentar, termasuk masukan-masukan, dari Kompasianer lain, tapi (Ya Tuhan) saya jarang membalas tanggapan mereka. Saya tak mau membela diri. Maaf seribu maaf.

Saya ingin banyak berterima kasih kepada Kompasiana dan rekan-rekan Kompasianer semuanya. "Ikatan yang menghubungkan keluarga sejati bukanlah ikatan darah, tapi ikatan rasa hormat dan sukacita dalam kehidupan satu sama lain," kata Richard Bach.

Kompasiana adalah keluarga semacam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun