Selayaknya orang yang kalah tinju, mereka membingkai diri sebagai korban yang terus-menerus kena pukul. Mereka cemas tiada henti tentang berbagai kemungkinan yang terjadi dari suatu pemilu.Â
Dalam kondisi normal, sebenarnya wajar jika politisi merasa cemas dan takut akan kalah dalam pemilihan (atau harus berhenti menjabat). Sampai batas tertentu, itulah inti dari demokrasi. Demokrasi memang penuh risiko.Â
Ritual formal demokrasi seperti pemilu memiliki terlalu banyak hal yang tak diketahui dan risiko yang tak terhitung. Bahkan pemain politik yang paling ahli sekalipun tak pernah bisa memastikan kemenangan sampai hasilnya keluar.
Pemilih dapat bergoyang dan berayun ke segala arah. Peraturan bisa berubah, dan parameter yang menentukan kemenangan atau kekalahan bisa berubah dengan variabel-variabel yang tak terduga.Â
Jadi, meski kemenangan dalam pemilu tetap menjadi hak istimewa, kemungkinan kekalahan dan kerugian adalah kenyataan yang selalu ada, mirip seperti bayangan kita sendiri. Seperti ajang kompetisi apa pun, pemilu akan selalu punya pemenang dan pecundang.
Masalahnya, kenyataan tersebut jarang diterima dengan baik oleh para politisi kita. Sebagian besar dari mereka tetap paranoia terhadap hasil akhir pemilu, takut ongkos dan modal politik yang telah mereka keluarkan berakhir sia-sia.Â
Alhasil, tak sedikit dari mereka yang termotivasi untuk "menang dengan cara apa pun", menghalalkan jalan-jalan curang demi menghindari kerugian.
Tentu saja, menerima kekalahan politik bukanlah hal mudah. Mereka yang kalah akan merasa jengkel dan frustrasi, kemudian menerima lebih sedikit manfaat dari sistem.Â
Sejumlah studi empiris telah mendokumentasikan bagaimana pihak yang kalah dalam pemilu cenderung meragukan, bahkan menolak, keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan pihak yang menang. Namun demikian, inilah tantangan demokrasi.
Setiap politisi mengharapkan kemenangan, tapi, pada malam pemilihan, ketika mereka dipastikan kalah dan mungkin harus menyerahkan jabatan yang telah lama dipegangnya kepada yang lain, mereka seharusnya naik ke atas panggung untuk mengakui kekalahan dan meminta para pendukungnya untuk melakukan hal serupa.
Dalam pengertian ini, demokrasi bergantung pada pecundang-pecundang politik yang bersedia mengakui keabsahan dari kekalahan mereka. Walau terasa berat dan pahit, itulah harga yang harus dibayar oleh mereka yang berkomitmen pada permainan demokrasi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!