Gejala ini terutama terkait dengan polarisasi yang biasa muncul saat kontes pemilu, karena masyarakat yang terpecah-pecah sering kali mengabaikan fakta dan memilah informasi sesuai selera (efek ruang gema).
Sebuah penelitian yang mengeksplorasi solusi terbaik atas masalah deepfake menyimpulkan bahwa partisipan yang berpikir kritis dan analitis punya peluang lebih tinggi untuk mengidentifikasi deepfake secara tepat ketimbang mereka yang mengandalkan firasat.
Artinya, ketika melihat sebuah video yang membahas isu sensitif, mungkin disampaikan tokoh terkemuka, jangan dulu manut. Lihat baik-baik apakah suaranya sinkron dengan gerak bibir, gesturnya seperti robot, atau matanya jarang berkedip.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) benar: kemunduran demokrasi hari ini lebih sering bermula di kotak suara. Jadi, meski teknologi deepfake belum familier di Indonesia, bukan berarti Pemilu 2024 nanti akan aman sepenuhnya dari teror deepfake.
Kita harus memitigasinya sedini mungkin. Dan saya terpaksa menutup artikel ini dengan seruan yang teramat pahit tapi mungkin berguna: "Jangan langsung percaya pada apa yang Anda lihat dan dengar, termasuk apa yang Anda katakan kepada diri Anda sendiri."
Kita melihat apa yang ingin kita lihat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H