Jawaban terakhir yang paling sering diajukan adalah bahwa AI itu sendiri juga bisa menjadi solusinya. Kita bisa menggunakan AI untuk menyebarkan informasi hoaks, dan kita pun bisa memanfaatkan AI untuk memerangi informasi hoaks itu.
Mesin penangkal ini bakal mengenali detail otoritatif dari pembuat, asal, dan distribusi konten deepfake. Unsur kecepatan amat penting: setiap menit yang dihabiskan untuk membongkar video, klip lainnya sedang menyebar lebih jauh di dunia maya.
Sayangnya, pendanaan dan dukungan terhadap mesin pengidentifikasi berita hoaks lebih sedikit daripada mesin pembuatnya. Ini terutama karena tak ada uang (atau sedikit sekali, kalaupun ada) yang bisa dihasilkan dari mendeteksi konten-konten hoaks.
Di samping itu, perluasan akses pada perangkat pendeteksi pemalsuan ini juga membawa ancaman tersendiri; ini sama saja seperti membuka pintu lebar-lebar bagi para pembuat deepfake untuk memeriksa kode dan menemukan solusi. Ini akan jadi permainan kucing-kucingan tanpa akhir.
Saya pikir persoalan utamanya bukan semata tentang mendeteksi berita palsu, melainkan bagaimana kita bisa berpikir kritis dan analitis terhadap sebagian besar (kalau bukan semua) informasi yang kita terima, khususnya konten hoaks deepfake.
Perkuat jurnalisme dan literasi digital
Jawaban saya terhadap masalah ini sedikitnya mencakup dua hal: perkuat (kembali) jurnalisme dan literasi digital pemilih.
Di tengah banyaknya outlet jurnalistik yang runtuh atau terancam tak relevan lagi, mengapa kita masih membutuhkan jurnalisme? Ada setidaknya satu hal yang ditawarkan jurnalisme dan tak dimiliki oleh platform informasi lain seperti media sosial: kurasi kritis.
Pada tahun-tahun politik yang serba ambigu dan diliputi aneka masalah rumit, kejelasan adalah segalanya. Tak ada kekuatan lain yang melebihi jurnalisme dalam seni menghadirkan (dan mengklarifikasi) fakta.
Jurnalisme bisa memanfaatkan alat pendeteksi fakta juga, dan nyatanya sudah begitu. Masalahnya, alat pendeteksi deepfake hanya mendeteksi unsur-unsur manipulasi dalam konten yang diperiksanya, tapi tak mampu mendeteksi isi konten.
Itu jadi masalah rumit ketika berita yang diperiksa sebenarnya tak sepenuhnya benar dan tak sepenuhnya salah. Dengan demikian, penggunaan alat pendeteksi fakta sekalipun tak dapat menghilangkan peran manusia, terutama jurnalis dan masyarakat itu sendiri.
Jika para jurnalis berperan penting dalam mengkurasi informasi, ujung tombak dari semua ini adalah daya kritis masyarakat itu sendiri. Para jurnalis bisa saja menyajikan banyak fakta kepada publik, tapi itu masih akan bergantung pada bagaimana masyarakat menerimanya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!