Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kebosanan Dapat Meningkatkan Kreativitas (jika Direspons dengan Tepat)

25 September 2023   16:10 Diperbarui: 25 September 2023   18:58 1642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang anak, saya membenci rasa bosan. Saat itu saya tak mengerti bahwa kebosanan adalah fakta kehidupan yang tak bisa dihindari sebagaimana kondisi mental lainnya, baik atau buruk. Meski selalu membuat saya gelisah, saya mulai belajar menerimanya.

Itu terutama ketika saya pelan-pelan menyadari bahwa beberapa ide terbaik saya menetas saat saya mengalami kebosanan.

Hari itu Rabu yang cerah; saya salah mengira jadwal kuliah. Malam sebelumnya dosen saya sudah memberitahu kalau kelasnya akan diundur satu jam dari jadwal yang seharusnya, tapi saya tak membuka ponsel sampai akhirnya tiba di ruangan kelas yang kosong dan hening.

Baca juga: Melankolis

Jika saya pulang lagi ke kos, itu akan sangat melelahkan. Tapi menunggu kelas pun tampak seperti bukan pilihan yang bagus: saya tak membawa buku dan ponsel saya sudah sekarat. Lagi pula, sekalipun baterainya penuh, tak ada yang bisa saya lakukan dengan ponsel saya.

Putus asa, saya pergi ke saung FISIP Unpad dan duduk di sana sendirian. Saat itu pukul setengah delapan dan udara masih sedingin subuh. Saya menyibukkan diri mencari posisi duduk yang nyaman, dan ketika itu selesai, saya benar-benar tak tahu lagi harus melakukan apa.

Pandangan saya tertuju pada kupu-kupu kecil yang mengitari bunga merah. Salah satu tanda kebosanan adalah waktu terasa begitu lambat-- menit demi menit berlalu seperti berjam-jam. Kebalikannya juga benar: ketika mendalami sesuatu, kita kehilangan jejak.

Jadi saya tak bisa mengatakan berapa lama saya telah memerhatikan kupu-kupu kecil itu dan membiarkan pikiran saya mengembara tentang macam-macam hal saat seorang teman menelepon bahwa kelas akan segera dimulai. Saya bergegas pergi dengan semringah.

Di sela-sela presentasi dosen, saya mencuri waktu untuk menuliskan empat ide mentah yang terbetik pada momen kebosanan tadi, salah satunya adalah artikel yang sedang Anda baca ini. Dua sisanya sedang mengalami masa pengeraman, dan satunya lagi tinggal dipublikasi.

Berdasarkan pengalaman tersebut, apa yang ingin saya tunjukkan di sini adalah mengapa dan bagaimana kebosanan dapat berubah menjadi momen kreatif jika kita meresponsnya dengan tepat. Ini mungkin berlawanan dengan intuisi, tapi banyak penelitian ilmiah telah membuktikannya.

Apa yang kebosanan katakan kepada kita?

Kebosanan merupakan sebuah proses kognitif yang membuat kita ingin melibatkan pikiran terhadap sesuatu, tapi tak ada yang memuaskan. Dengan kata lain, ini adalah perasaan tak nyaman ingin melakukan sesuatu, tapi sekaligus tak ingin melakukan apa pun.

Kebosanan tak sama dengan melamun, yang biasanya kita anggap sangat serupa, atau, tentu saja, berleha-leha di sofa. Kebosanan juga berbeda dengan sikap apatis (ketika tak ada keinginan sama sekali) atau frustrasi (ketika kemauan tertentu kandas).

Mereka yang bosan tahu ada banyak hal yang bisa atau harus mereka lakukan, tapi mereka tak bisa membawa keinginan mereka sejalan dengan apa yang tersedia buat mereka. Dan sebagaimana kondisi mental lainnya, kebosanan mengatakan sesuatu kepada kita.

Kebosanan adalah tanda peringatan, seperti halnya rasa sakit yang merupakan sinyal penting akan adanya bahaya atau ancaman. Ini menandakan bahwa kita tak terlibat dan membutuhkan aktivitas lain untuk memuaskan kita. Secara khusus, otak memberitahu kita untuk mengambil tindakan.

Kebosanan juga bisa berarti otak kita memperingatkan bahwa segala sesuatunya tak berjalan baik. Bayangkan ini sebuah lampu dasbor emosional yang berbunyi, "Hei, kau salah jalur. Lakukanlah sesuatu yang lain."

Biasanya itu menandakan hal yang sedang kita kerjakan terlalu mudah atau terlalu sulit, atau mungkin tak bermakna. Demikianlah, kebosanan bisa mengindikasikan bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lebih menantang, menarik, atau bermakna untuk mengisi waktu dan energi mental kita.

Jadi, meskipun kebosanan itu tak menyenangkan, dan memang seharusnya tidak, seluruh tujuannya adalah memotivasi kita untuk melakukan sesuatu yang lain, apa pun itu. Ini adalah panggilan untuk bertindak.

Sayangnya, kebanyakan dari kita memilih untuk tak mendengarnya.

Ketika kita gagal untuk bertindak berdasarkan sinyal tersebut, atau menyerah begitu saja, perasaan bosan menjadi berlarut-larut dan bisa membuat kita agak sengara. Dengan kata lain, jika kita salah memperlakukan kebosanan, itu akan menjadi buruk buat kita.

Kesalahan yang dilakukan banyak orang adalah bersikap reaktif, melarikan diri dari perasaan tak nyaman alih-alih menginterogasi apa yang ingin disampaikan oleh perasaan tersebut. Kita melihat diri kita sebagai wadah kosong yang harus diisi sesegera mungkin.

Sebuah studi tahun 2014 menemukan bahwa banyak orang memilih untuk memberikan sengatan listrik yang menyakitkan pada diri mereka sendiri daripada dibiarkan sendirian dengan pikiran mereka. Seorang pria bahkan menyetrum dirinya 190 kali dalam 15 menit.

Dalam situasi itu, saking tak nyamannya dengan sensasi kebosanan, banyak orang bersedia melakukan hal merugikan sekalipun demi menghilangkan perasaan buruk tersebut. Tak heran bahwa kebosanan telah terbukti menjadi faktor dalam konsumsi alkohol, rokok, dan obat-obatan.

Jika tujuannya hanya untuk menghindari kebosanan, kita seharusnya berada pada zaman yang lebih mudah. Dengan adanya media sosial, hiburan tak ada habisnya di Netflix dan Spotify, dan semua teman yang selalu tersedia, kita tak perlu berpikir keras saat merasa bosan.

Namun, paradoksnya, keterikatan kita pada ponsel justru mencegah kita untuk benar-benar terhibur. Mencari kelegaan di internet bisa terasa seperti mencoba minum dari selang pemadam kebakaran: terlalu banyak dan salah jalan.

Ketika kita menggulir layar beranda untuk mencegah kebosanan, kita sebenarnya membuat diri kita lebih rentan terhadap kebosanan, karena setiap kali kita mengeluarkan ponsel, kita tak membiarkan pikiran kita mengembara dan mencari solusi asli atas masalah kebosanan kita.

Dengan kata lain, sikap reaktif membuka ponsel bukanlah cara kita mengatasi kebosanan, melainkan pengalih perhatian sesaat sebelum akhirnya kembali pada perasaan bosan yang belum kita pecahkan. Ini tak menyelesaikan masalah; ini hanya menundanya.

Lagi pula, butuh waktu dan perhatian untuk menelusuri Instagram atau bermain Candy Crush. Tapi ujung-ujungnya, kita tak puas karena kita tak melakukan apa yang sebenarnya kebosanan katakan kepada kita. Jadi, setiap kali kita merasa bosan, teliti perasaan itu.

Jika direspons dengan tepat, kebosanan dapat menjadi katalisator kreativitas

Sebuah penelitian tahun 2014 menunjukkan bahwa, ketika peneliti meminta para partisipan untuk menemukan sebanyak mungkin kegunaan dari sepasang gelas plastik, mereka yang kebosanan ternyata bekerja lebih baik dan lebih kreatif.

Penelitian lainnya dari tahun yang sama juga menemukan hal serupa: kebosanan membuat partisipan berpikir lebih kreatif saat diminta untuk menghubungkan tiga kata yang tampaknya acak dan tak berhubungan.

Masih pada tahun yang sama, sebuah penelitian menemukan bahwa, ketika diminta untuk memikirkan kendaraan, para peserta yang merasa gembira paling sering mengatakan "mobil". Namun, para peserta yang bosan menyebut kata-kata yang lebih variatif, bahkan sampai menjawab "unta".

Berdasarkan semua temuan tersebut, mengapa kebosanan cenderung memicu momen-momen kreatif? Mengapa orang-orang yang kebosanan lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang yang, menurut penelitian di atas, rileks dan gembira?

Kebosanan memungkinkan orang untuk menengok ke dalam dirinya sendiri, artinya menggunakan waktu untuk berpikir dan merenung. Dengan membiarkan pikiran lari dan mengembara, serta tak ada rangsangan dari luar, kita cenderung berpikir dan berimajinasi secara berbeda.

Hal itu membantu kita keluar dari kebiasaan dan menciptakan lompatan pikiran. Dalam hal ini, kebosanan mendorong salah satu sifat kita yang paling penting, yaitu rasa ingin tahu. Kebosanan memotivasi kita untuk mencoba mencari tujuan baru atau menjelajahi ide baru.

Seperti halnya tidur, memberikan waktu bagi otak kita untuk mengembara dapat membantunya membuat koneksi dan menghasilkan ide-ide yang tak bisa dilakukan saat otak sibuk.

Itu mungkin menjelaskan mengapa banyak orang mengaku menemukan ide hebat untuk masalah yang mereka hadapi ketika sedang mandi, misalnya Archimedes. Hal ini karena pikiran mereka bebas mengembara sementara tubuh mereka sedang melakukan sesuatu yang ringan.

Jadi, kebosanan sebenarnya bisa menumbuhkan ide-ide kreatif, mengisi kembali cadangan kita yang menipis, membangkitkan lagi semangat kita dan memberikan masa inkubasi bagi embrio gagasan untuk menetas.

Pada saat-saat yang tampak membosankan, kosong dan tak berguna, seperti mencabut rumput liar atau memindahkan perabotan, gagasan dan solusi yang telah ada selama ini dalam bentuk embrio diberi ruang dan menjadi hidup. Jika cangkangnya retak, eureka!

Cara saya merespons kebosanan

Tentu saja, kebosanan itu sendiri tak kreatif; yang penting adalah apa yang ditimbulkannya. Meskipun perasaan ini sering menyiksa, di dalamnya ada aneka kesempatan nyata untuk menemukan sesuatu yang baru, termasuk menjadi sumber kreativitas.

Masalah dengan kebosanan adalah bahwa walaupun itu mengingatkan kita tentang adanya sesuatu yang salah, kebosanan tak memberitahu kita apa yang harus kita lakukan untuk mengatasinya. Dengan demikian, menemukan cara yang sehat untuk mengatasinya tergantung pada diri kita sendiri.

Versi saya adalah memilih aktivitas yang hanya membutuhkan sedikit, atau sama sekali tak membutuhkan, konsentrasi. Ini mencakup duduk dan berpikir, mungkin dengan secangkir teh dan mata terpejam, atau berjalan kaki di rute yang sudah dikenal.

Dengan membiarkan pikiran mengembara sejauh satu kilometer menuju kampus atau pusat kota, saya memikirkan banyak hal, mulai dari hal-hal bodoh sampai hal-hal serius. Tujuannya tak jelas, tapi sangat menarik untuk mengikuti alurnya dan melihat apa yang dihasilkannya.

Berpikir biasanya dianggap sebagai tak melakukan apa pun, tapi tak melakukan apa pun selalu sulit dilakukan. Saya merasa bahwa berpikir paling baik dilakukan dengan menyamarkannya sebagai melakukan sesuatu, hal-hal yang tak terlalu menguras energi dan perhatian.

Sesuatu yang paling dekat dengan tidak melakukan apa-apa, bagi saya, adalah berjalan kaki.

Tapi jika Anda berpendapat lain, itu sama sekali bukan masalah. Intinya sama saja: kita seharusnya tak takut oleh kebosanan dan justru harus menerimanya. Pikirkan kebosanan bukan sebagai hal yang membuang-buang waktu, tapi waktu bersantai.

Bosan itu seperti pergi ke pusat kebugaran. Awalnya terasa sangat menyakitkan. Tapi kemudian kita mulai pergi mungkin tiga, empat kali seminggu dan itu jadi sedikit lebih mudah. Kita cukup bersemangat, keringat mulai terasa enak, dan tiba-tiba itu menjadi bagian dari hidup kita.

Jadi, beri diri kita ruang untuk melakukan peregangan, menarik napas dalam-dalam di sela-sela janji temu, waktu untuk berjalan kaki di sekitar blok dan menjernihkan pikiran. Atau bermeditasi, berdoa, berlatih yoga, atau sekadar merenungkan alam semesta.

Otak kita akan lebih bahagia dan sehat ketika hidup berdampingan dengan saat-saat membosankan tanpa keharusan berbuat apa pun. Tak ada yang perlu diburu-buru, diperbaiki, atau diselesaikan. Setelah mengerem mobil kita sendiri, kita siap untuk bergerak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun