Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Alasan Mengapa Saya Bukan Seorang Stoik

18 Agustus 2023   07:00 Diperbarui: 21 Agustus 2023   18:56 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun ini, buku-buku tentang Stoikisme telah membanjiri pasar self-help. Jika Anda memasuki toko buku, bacaan Stoikisme biasanya dipajang paling depan. Orang-orang yang tadinya tak mengenal aliran filsafat ini akhirnya jadi tertarik untuk membeli.

Karya para filsuf Stoa diterjemahkan secara masif ke dalam bahasa Indonesia, terutama karya Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca. Jika di luar negeri ada Ryan Holiday dan Massimo Pigliucci yang mempopulerkan gagasan Stoa, di Indonesia ada Henry Manampiring.

Buku "Filosofi Teras" sejauh ini sudah memasuki cetakan ke-50, dengan beragam versi sampul dan ilustrasi. Saking larisnya, dan semula saya agak terkejut dengan fakta ini, beberapa teman saya yang tak suka baca buku pun memiliki buku ini dan membacanya.

Pandemi Covid-19 mungkin jadi momentum tersendiri bagi filsafat Stoa untuk memikat pikiran publik. Kala pandemi berkecamuk dan kita semua diteror oleh rasa takut akan kehilangan orang-orang tercinta, Stoikisme terasa nyaman dan menenangkan.

Itu karena Stoikisme memberi kita banyak nasihat tentang bagaimana menangani segala sesuatu, mulai dari penolakan romantik sampai urusan liang lahat. Hal-hal yang berada di luar kendali kita, seperti maut dan sikap Putin, katanya, tak perlu diambil pusing.

Kendati begitu, popularitas ide Stoa sebenarnya sudah berkembang jauh sebelum pandemi terjadi. Dan tentu saja, relevansi Stoikisme jauh melampaui peristiwa bencana. Bukankah dalam kondisi normal sekalipun kita selalu diteror oleh rasa takut dan cemas?

Stoikisme, pendeknya, memang terasa begitu relevan di zaman kita yang serba tak pasti dan penuh kesemrawutan.

Namun, setelah menjelajahi ide-ide lain, saya mulai merasa risih dengan ide-ide Stoa. Dan harus saya katakan, meskipun orang sering salah sangka, saya bukan seorang Stoik. Saya bisa melihat daya tarik Stoikisme, tapi saya juga melihat noda-nodanya.

Di sini saya tak mengaku sepenuhnya memahami Stoikisme. Saya membaca beberapa karya filsuf Stoa, seperti "Enchiridion"-nya Epictetus dan "Meditation"-nya Marcus Aurelius, serta kumpulan tulisan Seneca tentang kematian "How to Die". Saya kira ini cukup.

Stoikisme itu memikat, tapi tak cocok buat saya

Sejak Zeno dari Citium sekitar 2.000 tahun yang lalu, Stoa telah berkembang dengan versi yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar, janji utamanya adalah kebebasan dari kesedihan dan rasa sakit yang ditimbulkan oleh aneka perubahan nasib.

Bagaimana seseorang bisa mencapai itu? Stoa percaya bahwa jawabannya terletak pada prioritas seseorang. Apa yang kita sebut baik atau buruk, berharga atau hina, menurut Stoa, hanyalah nilai-nilai yang kita tambahkan ke berbagai hal.

Dalam hal ini, Stoa adalah sejenis filosofi untuk memilih penilaian kita. Ada sebuah gagasan yang masuk akal bahwa kebahagiaan dan ketidakbahagiaan itu tak hanya terletak pada peristiwa eksternal, tapi juga pada reaksi kita terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.

Seperti yang dikatakan Shakespeare dalam Hamlet, "Tak ada sesuatu yang baik atau buruk; pemikiranlah yang membuatnya begitu." Saat ini, Stoikisme telah memengaruhi dan menemukan ekspresi modernnya dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT).

Tentu saja, masih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang Stoikisme. Namun, untuk tujuan artikel ini, saya pikir uraian di atas sudah cukup. Pada tahun pertama perjumpaan saya dengan Stoa, saya kagum dan berusaha menerapkannya. Kini harapan saya memudar.

Saya akan menguraikan tiga alasan mengapa saya bukan (lagi) seorang Stoik.

Pertama, Stoa cenderung menentang sebagian besar emosi. Kaum Stoik menganggap sebagian besar emosi sebagai sesuatu yang buruk, dan dengan begitu kita harus menguranginya sebisa mungkin. Seorang Stoa yang bijak mungkin akan memotong saya.

"Tahan! Kau salah paham. Stoa adalah tentang penjinakan emosi, bukan menghilangkannya. Manusia ideal Stoa bukanlah seorang jutek yang hanya mencari rasionalisme dan tak berperasaan." Ya, Epictetus bilang bahwa hidup yang baik bukanlah "seperti patung".

Ada banyak potensi untuk basa-basi ilmiah di sini. Namun, bagaimanapun orang membacanya, jelas bahwa kaum Stoik menentang sebagian besar emosi. Mereka percaya bahwa emosi merupakan tanda kemelakatan kita pada sesuatu, dan itu membuat diri kita rentan tersakiti.

Perkataan Epictetus berikut adalah contoh yang bagus: "Jika Anda mencium anak Anda, atau istri Anda, katakan (dalam diri) bahwa Anda hanya mencium seorang manusia, dan dengan demikian Anda tak akan terganggu kalau salah satu dari mereka meninggal."

Dalam hal ini, karena menghargai kehidupan dan segala hal yang kita cintai berpotensi mendatangkan rasa sakit dan kekecewaan (kadang sangat akut), Stoikisme menyarankan bahwa kita sebaiknya "mematikan" kemampuan kita untuk menghargai agar terhindar dari semua risiko.

Saya punya masalah dengan itu. 

Saya pikir itu bukanlah resep untuk kedamaian batin, melainkan resep untuk menghancurkan segala kemungkinan kebahagiaan. Jalan menghindari kesedihan dan kepahitan juga merupakan jalan menghindari kebahagiaan dan sukacita.

Itu karena kebahagiaan yang menyertai kesuksesan muncul hanya jika kita turut terlibat dalam sesuatu yang berisiko mendatangkan rasa sakit dari kegagalan. Dengan kata lain, meredam emosi seperti cinta atau gairah berarti membunuh kemampuan seseorang untuk hidup.

Di sini Stoikisme mungkin agak mirip dengan obat untuk gangguan bipolar yang menyebabkan emosi seseorang menjadi datar, serta membantu menghindari titik terendah dengan mengorbankan titik tertinggi.

Lagi pula, emosi bukanlah sesuatu yang terjadi dalam diri kita begitu saja. Emosi muncul untuk memberi sinyal atau tanda tertentu kepada kita mengenai bagaimana keadaan kita sehubungan kepedulian, keprihatinan, dan nilai-nilai kita. Ini memberi kita petunjuk.

Jika saya kecewa atas pengkhianatan seorang teman, saya memang tersakiti - dan tak ada orang normal yang mau tersakiti dengan cara apa pun. Tapi justru lewat rasa kecewa yang menyakitkan itu saya belajar sesuatu: lain kali saya harus berhati-hati dengan dia.

Kedua, Stoa cenderung menjadikan kita individualistis. Kaum Stoik percaya bahwa untuk menjalani hidup yang baik, kita harus mengurangi ketergantungan kita pada yang "eksternal", hal-hal di luar kendali kita, termasuk orang-orang yang kita cintai.

Jika kita membiarkan orang lain mengendalikan hidup dan pikiran kita, maka kita akan menjadi lemah. Marah karena pengkhianatan, dengan demikian, bikin kita makin lemah, karena itu artinya kita bergantung pada orang yang telah mengkhianati kita.

Satu-satunya hal yang punya nilai sejati adalah yang "internal" - kebijakan kita sendiri untuk hidup sesuai dengan logos, prinsip rasional yang mengatur alam semesta. Alhasil, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan kita harusnya tetap berada di dalam kendali kita.

Gagasan tersebut, menurut saya, memanifestasikan individualisme atomistik yang sekarang mendominasi pemikiran Barat. Dan saya mendapati diri bertanya-tanya apakah karena alasan ini Stoikisme begitu populer dan terasa relevan di era kontemporer.

Jika begitu, maka penolakan Stoa terhadap sebagian besar emosi bukanlah inti dari masalahnya. Masalahnya adalah bahwa mereka punya cita-cita yang salah. Kemandirian yang mereka harapkan, menurut saya, cenderung melemahkan aspek kunci dari apa artinya menjadi manusia.

Dalam konteks ini, saya lebih relevan dengan gagasan Konfusianisme. Mereka percaya bahwa manusia adalah makhluk relasional. Kita jadi diri kita karena hubungan kita dengan orang lain: anggota keluarga, teman, sesama warga negara dan bahkan dengan alam.

Jadi, jika yang "internal" ternyata memengaruhi dan dipengaruhi oleh yang "eksternal", pembedaan terhadap keduanya tak begitu masuk akal. Laba-laba itu penyendiri. Manusia tidak. Tak ada manusia yang merupakan sebuah pulau, dan seluruhnya adalah dirinya sendiri.

Di samping itu, karena lebih mengutamakan nalar daripada emosi, Stoa membuat kita kesulitan untuk terhubung dengan orang lain. Kita semua terhubung melalui emosi. Tanpa keterhubungan ini, sulit bagi kita untuk mengenal siapa diri kita.

Ketiga, dikotomi kendali tidaklah realistis. Salah satu praktik terpenting dalam filsafat Stoa adalah membedakan antara apa yang bisa kita ubah dan apa yang tak bisa kita ubah, apa yang bisa kita pengaruhi dan apa yang tak bisa kita pengaruhi. Inilah dikotomi kendali.

Penerbangan ditunda karena cuaca, teriakan sekeras apa pun tak akan mengakhiri badai. Harapan sebesar apa pun tak akan mengubah tempat seseorang dilahirkan. Percuma berusaha membuat orang lain menyukai kita. Ini mewakili hal-hal yang berada di luar kendali kita.

Stoikisme menunjukkan bahwa satu-satunya hal yang berada di bawah kendali kita adalah respons kita terhadap dunia. Meski badai berlangsung, saya bisa membuatnya jadi momen yang seru. Saya lahir di Indonesia dan bukan Finlandia; saya terima dan harus memanfaatkannya.

Dikotomi kendali, saya akui, memang berguna secara praktis. Stoa menyarankan agar kita tak merasa negatif atau positif tentang hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Namun, saya punya masalah dengan hal ini.

Saya tak bisa mengendalikan cuaca, tapi masuk akal, mengingat preferensi saya pribadi, untuk merasa senang dengan hari yang cerah dan sedih dengan hujan deras. Saya tak bisa membuat orang lain menyukai saya, tapi wajar kalau saya merasa terganggu dengan itu.

Lagi pula, ada banyak hal di dunia ini yang bisa saya kendalikan. Saya bisa mengendalikan motor saya ketika saya berkendara ke pusat kota, mengendalikan api unggun saat berkemah. Saya bahkan bisa "mengendalikan" orang lain sampai tingkatan tertentu.

Katakanlah sahabat saya baru saja gagal dalam ujian akhir semester. Sebagai seorang Stoik yang baik, saya bisa saja menerima hal itu dan menjadikannya nyaman buat saya sendiri. Namun lebih baik saya buatkan dia kopi dan duduk mendengarkan keluhannya.

Para penulis yang mempopulerkan Stoikisme, seperti Ryan Holiday dan Massimo Pigliucci, menyadari masalah ini. Pada titik tertentu, masing-masing dari mereka menunjukkan bahwa mempraktikkan Stoa dapat menjadi progresif dan aktivis.

Akademia Stoa terbuka untuk perempuan, tak seperti kebanyakan akademia lain. Epictetus, sebagai seorang budak, membuktikan bahwa status sosial-ekonomi tak menghalangi seseorang untuk menjadi bijaksana. Namun, tetap saja, dikotomi kendali membawa kita pada masalah kepasifan.

Itu sangat kentara dalam konteks keadilan sosial.

Jika kita hanya berfokus pada karakter, reaksi, serta tindakan kita sendiri, dan tak berusaha pada hal-hal yang berada di luar kendali langsung kita, menurut saya, seorang Stoik akan tetap pasif dalam menghadapi masalah-masalah besar, misalnya perubahan iklim.

Tak seorang pun akan mencapai sesuatu yang luar biasa, atau melampaui batasan mereka sendiri, jika mereka hanya menerima bahwa satu-satunya hal yang dapat mereka kendalikan adalah diri mereka sendiri. Dan tentu saja, kita tak bisa mengendalikan hasilnya.

Kita pasti akan mengalami kegagalan, sekali atau berkali-kali, dan akibatnya merasa kesusahan. Tanggapan saya terhadap hal ini adalah: "Lalu kenapa?"

Jadi, apa setelah ini?

Sebenarnya masih banyak alasan lain yang menjadikan saya bukan seorang Stoik. Misalnya, filsuf Stoik seperti Seneca dan Musonius "membolehkan" orang untuk mengakhiri hidupnya sendiri asal rasional dan berguna secara sosial. Namun, saya akan berhenti di sini.

Jika filsafat Stoa membantu Anda untuk hidup seperti yang Anda inginkan, maka lakukanlah. Tapi jika, seperti saya, Anda memiliki banyak masalah serius atas pendekatan Stoa, maka saya menganjurkan Anda untuk mencari kebijaksanaan di tempat lain.

Sejauh ini, saya tak mau menggolongkan diri ke dalam aliran filsafat mana pun (dan mungkin tak akan pernah mau). Namun, pada banyak hal, saya merasa sangat dekat dengan absurdisme. Ini terutama karena dunia membuat saya sesak dan merasa aneh.

Orang mungkin bertanya: "Jika Stoikisme tak sebagus yang dibicarakan orang, tak bisakah kita mengadopsinya sebagian saja, mengambil beberapa bagian yang kita anggap berguna, memodifikasi yang lain, dan membuang sisanya?"

Tentu saja bisa. Tapi perlu dicatat, karena Stoikisme adalah sebentuk sistem pemikiran, maka mengambil sebagiannya saja berarti Anda tak mempraktikkan Stoikisme. Dengan kata lain, seperti saya, Anda bukan seorang Stoik.

Artikel ini bukan untuk menunjukkan bahwa Stoikisme adalah sistem yang buruk. Sebaliknya, sebagaimana semua sistem bagus lainnya, kita sebaiknya tak serta-merta menerima (atau menolak) keseluruhannya. 

Ironisnya, jika Anda mengaku Stoik dan marah dengan artikel ini, Anda bukan Stoik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun