Saya pikir itu bukanlah resep untuk kedamaian batin, melainkan resep untuk menghancurkan segala kemungkinan kebahagiaan. Jalan menghindari kesedihan dan kepahitan juga merupakan jalan menghindari kebahagiaan dan sukacita.
Itu karena kebahagiaan yang menyertai kesuksesan muncul hanya jika kita turut terlibat dalam sesuatu yang berisiko mendatangkan rasa sakit dari kegagalan. Dengan kata lain, meredam emosi seperti cinta atau gairah berarti membunuh kemampuan seseorang untuk hidup.
Di sini Stoikisme mungkin agak mirip dengan obat untuk gangguan bipolar yang menyebabkan emosi seseorang menjadi datar, serta membantu menghindari titik terendah dengan mengorbankan titik tertinggi.
Lagi pula, emosi bukanlah sesuatu yang terjadi dalam diri kita begitu saja. Emosi muncul untuk memberi sinyal atau tanda tertentu kepada kita mengenai bagaimana keadaan kita sehubungan kepedulian, keprihatinan, dan nilai-nilai kita. Ini memberi kita petunjuk.
Jika saya kecewa atas pengkhianatan seorang teman, saya memang tersakiti - dan tak ada orang normal yang mau tersakiti dengan cara apa pun. Tapi justru lewat rasa kecewa yang menyakitkan itu saya belajar sesuatu: lain kali saya harus berhati-hati dengan dia.
Kedua, Stoa cenderung menjadikan kita individualistis. Kaum Stoik percaya bahwa untuk menjalani hidup yang baik, kita harus mengurangi ketergantungan kita pada yang "eksternal", hal-hal di luar kendali kita, termasuk orang-orang yang kita cintai.
Jika kita membiarkan orang lain mengendalikan hidup dan pikiran kita, maka kita akan menjadi lemah. Marah karena pengkhianatan, dengan demikian, bikin kita makin lemah, karena itu artinya kita bergantung pada orang yang telah mengkhianati kita.
Satu-satunya hal yang punya nilai sejati adalah yang "internal" - kebijakan kita sendiri untuk hidup sesuai dengan logos, prinsip rasional yang mengatur alam semesta. Alhasil, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan kita harusnya tetap berada di dalam kendali kita.
Gagasan tersebut, menurut saya, memanifestasikan individualisme atomistik yang sekarang mendominasi pemikiran Barat. Dan saya mendapati diri bertanya-tanya apakah karena alasan ini Stoikisme begitu populer dan terasa relevan di era kontemporer.
Jika begitu, maka penolakan Stoa terhadap sebagian besar emosi bukanlah inti dari masalahnya. Masalahnya adalah bahwa mereka punya cita-cita yang salah. Kemandirian yang mereka harapkan, menurut saya, cenderung melemahkan aspek kunci dari apa artinya menjadi manusia.
Dalam konteks ini, saya lebih relevan dengan gagasan Konfusianisme. Mereka percaya bahwa manusia adalah makhluk relasional. Kita jadi diri kita karena hubungan kita dengan orang lain: anggota keluarga, teman, sesama warga negara dan bahkan dengan alam.