Apa yang saya maksud dengan semua itu adalah, kita harus mengakui bahwa humaniora dan sains bernilai setara dan memiliki persoalan masing-masing. Tapi ini bukan berarti keduanya terisolasi. Saya pikir itu seperti dua sayap dari burung yang sama.
Artinya, menolak atau memotong program-program humaniora bukan hanya memisahkan akademi dan budaya dari kapasitasnya untuk menopang peradaban, tapi terutama membuat seluruh upaya pengembangan STEM jadi gagal dan sia-sia (atau paling banter, stagnan).
Semua itu tak mengurangi kebutuhan kita akan pelatihan teknologi. Itu hanya menunjukkan bahwa saat pekerjaan kita banyak diambil alih oleh komputer, keterampilan paling berharga adalah keterampilan yang unik dan tak bisa ditiru oleh komputer.
Tugas-tugas yang terbukti paling sulit untuk diotomatisasi adalah tugas-tugas yang menuntut fleksibilitas, penilaian (judgment), dan akal sehat. Kebutuhan ini tak bisa didapatkan dengan mengisolasi diri dalam bidang STEM atau humaniora semata.
Jika Anda mengkhususkan diri di bidang STEM dan, seperti beberapa orang yang saya kenal, anti terhadap humaniora, Anda mungkin akan ahli dalam “membuat”, tapi kemungkinan akan kurang tahu soal apa yang harus dibuat dan mengapa harus membuatnya.
Dua pertanyaan terakhir itu merupakan urusan humaniora: apa yang dibutuhkan masyarakat dan, paling penting, mengapa kebutuhan tersebut harus dipenuhi. Kegagalan untuk menjawab keduanya akan menyebabkan bencana berkelanjutan.
Saintek bisa memberitahu Anda cara mengkloning dinosaurus. Humaniora bisa mengingatkan Anda mengapa hal itu (mungkin) bukan ide yang bagus. Jadi, keberhasilan dalam pendidikan bergantung pada hubungan resiprokal antara saintek dan humaniora, bukan salah satunya.
Epilog
Pada akhirnya, menurut saya, pengagungan STEM dalam kebijakan pendidikan adalah salah arah. Keengganan mendanai humaniora demi STEM bukan hanya kontraproduktif, tapi juga merenggut hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang lengkap.
Oleh sebabnya, pekerjaan yang dijanjikan oleh program STEM hanyalah ilusi kolektif dalam ekonomi-politik kita, selalu tak bisa dijangkau, selalu mengalihkan perhatian kita dari tujuan-tujuan yang lebih luas dan lebih penting.
Para pelajar berbondong-bondong memasuki jurusan STEM bukan karena hasrat mereka, tapi karena mereka diberitahu bahwa di situlah lapangan pekerjaannya. Sekarang, kita melihat ada terlalu banyak lulusan STEM daripada lapangan pekerjaan untuk mereka.
Jadi saya pikir, selama kurikulum dan sistem pendidikan kita memperlakukan pelajar sebagai peserta pra-kuliah dan proto-kapitalis dalam ekonomi global, paradoksnya kita tak akan mampu bersaing dengan negara-negara lain, bahkan dengan tetangga kita sendiri.