“Lulusan ilmu politik jadi apa?” tanya alumnus kampus kepada saya di tengah jeda seminar. Karena sebelumnya dia bercanda bahwa ilmu politik itu mengajari orang “cara berbohong”, saya jawab dengan bergurau juga: “Entah, mungkin bagi-bagi kaos partai.”
Saya santai menanggapi itu karena saya tak punya tekanan untuk membuktikan apa pun. Tepatnya lagi, saya sudah terbiasa mendapatkan pertanyaan seperti itu. Kami yang menekuni humaniora sudah terbiasa.
Seorang teman dari jurusan sosiologi pernah bercerita mengalami hal yang sama. Begitu pula teman-teman dari jurusan sastra dan sejarah. Jangan tanya soal beban teman saya yang berada di jurusan filsafat. Bagaimanapun, kami tak menyesali keputusan kami.
Mungkin satu-satunya hal yang mengganggu kami adalah bahwa stigma tersebut menjadikan adik-adik kami enggan (atau ragu-ragu) untuk belajar humaniora. Mereka khawatir anggapan orang benar: humaniora makin tak relevan, tak perlu, dan kuno.
Bagaimana mungkin mempelajari sastra bisa mempersiapkan kita untuk hidup? Pekerjaan apa yang ada untuk lulusan sosiologi? Mengapa repot-repot menekuni filsafat dari dua ribu tahun lalu ketika kita bisa belajar sains mutakhir?
Kita diberitahu bahwa dunia kini mencari ilmuwan data, pengembang software, dan ekonom, bukan lulusan ilmu politik yang mengobrol tentang Machiavelli atau Hobbes di tengah makan malam. Konon, humaniora tak berguna secara ekonomi.
Sedari dulu, humaniora memang punya masalah kredibilitas. Publik kurang percaya terhadap proses penyelidikan dan kesimpulan para ahli humaniora, yang katanya lebih mirip “opini sok tahu” daripada penyelidikan ilmiah yang nyata dan metodis.
Di sini saya tak mengatakan bahwa humaniora sebenarnya lebih unggul ketimbang sains, atau sebaliknya. Alih-alih, saya akan menunjukkan bahwa keduanya punya nilai yang setara dan memecahkan masalah yang berbeda, tapi seringnya saling melengkapi.
Tentu saja, seperti para pembaharu pendidikan, saya sama terpesonanya dengan tujuan produktivitas ekonomi; pendidikan memang harus menunjang karier kita. Namun, fokus pada bidang STEM belaka, menurut saya, justru tak akan membuat tujuan itu berhasil.
Kebutuhan di masa depan melampaui STEM
Berkaca dari dunia terkini, pekerjaan di masa depan tampaknya akan didominasi oleh pekerjaan STEM (Science, Technology, Engineering, Math). Permintaan pasar global telah mengerucut pada kemahiran ilmiah dan teknis sebagai kemampuan utama.