Dulu saya coba menulis di platform lain, termasuk blog pribadi. Kala itu saya masih kelas 11 SMA, dan saya menyisihkan uang jajan setiap harinya agar bisa membeli domain dan hosting blog. Namun, kurang dari satu bulan, saya memutuskan untuk konsisten di Kompasiana.
Jika Anda bertanya mengapa, sejujurnya saya tak tahu pasti. Bagi saya, Kompasiana adalah keluarga yang saya pilih. Sementara saya ujug-ujug terlahir dari rahim ibu saya dan menjadi keluarganya, saya memilih untuk "lahir dari rahim Kompasiana dan menjadi keluarga ini".
Pertanyaan berikutnya, sebagaimana beberapa teman sering mengajukan ini, bagaimana saya menulis?
Saya percaya bahwa ide atau gagasan perlu mengalami masa pengeraman, seperti telur. Draf pertama, bagi saya, selalu buruk. Jadi, dan ini mungkin terdengar mengecewakan, jika orang bertanya seberapa lama saya menulis satu artikel, jawabannya tergantung.
Beberapa artikel hanya perlu satu-dua hari (total sekitar 6-8 jam), mulai dari penyusunan draf pertama, riset, proses menulis, sampai editing. Namun, sebagian artikel bisa memakan waktu berminggu-minggu. Mengapa repot-repot? Mari saya jelaskan.
Dalam sedikit kesempatan, saya hanya mampu menuliskan ide mentahnya saja. Dulu, ketika ramai ChatGPT, saya menyimpan agenda untuk menulis tentang pengaruh ChatGPT terhadap PR sekolah.
Namun, karena kelihatannya banyak orang lain (termasuk pakar) yang sudah menuliskannya, dan saya pikir pendapat saya tak akan jauh berbeda dengan mereka, saya membiarkan ide itu terus membengkak di daftar tunggu.
Di kesempatan lain, saya berhenti di tengah jalan karena alasan-alasan tertentu: hilang minat, topiknya terlalu sulit, tiba-tiba pendapat saya terasa tak masuk akal, dan yang terburuk, saya tak tahu harus berkata apa lagi.
Penyakit terakhir itu biasanya terjadi kalau saya belum sepenuhnya memahami topik atau isu yang hendak saya tulis. Jadi, daripada memaksakan maju dan hanya menghasilkan sebundel omong kosong atau basa-basi, saya berhenti dan mundur ke belakang.
Barangkali itu juga berhubungan dengan kebiasaan saya. Dalam hal menulis, entah fiksi atau non-fiksi, saya tak akan melakukannya jika itu terasa sangat sulit buat saya. Ini bukan berarti saya tak suka tantangan; saya menulis topik-topik sulit, tapi saya berhenti jika stuck.
Contoh terbaru, saat saya menulis artikel tentang ketidaksempurnaan persahabatan, saya mengubah bentuk dan pesan intinya di tengah jalan. Pada mulanya, saya memaksudkan artikel tersebut berbentuk surat kepada seorang sahabat yang tengah depresi.