Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Inikah Quarter-Life Crisis, atau Hidup Memang Begini?

21 Juli 2023   07:18 Diperbarui: 25 Juli 2023   13:48 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami seolah dilemparkan begitu saja ke pasar properti yang berbahaya. Kami menghasilkan lebih banyak dan membelanjakan lebih banyak dari sebelumnya. Kami berutang demi gelar dan karier kami. Kami diwarisi sisa alam yang lengang dan mengerikan.

Saya ingat pendapat Yuval Noah Harari dalam bukunya "21 Lessons for the 21st Century", bahwa jika manusia tak mampu bersaing dengan kecerdasan buatan di berbagai pekerjaan, mereka mungkin akan menjadi "useless class" karena ketidakrelevanan mereka.

Walau saya yakin bahwa saya akan bisa melangkahinya, secara bersamaan saya juga agak cemas tentang apa yang bakal terjadi pada saya tahun depan, minggu ini, atau bahkan hari ini. Saya mengenal beberapa orang yang hidupnya hancur karena satu peristiwa tak terduga.

Itu bikin saya overthinking. Belakangan saya cukup obsesif membandingkan diri saya dengan orang lain: menghakimi dan menilai diri sendiri, menghitung skor ketertinggalan saya dalam perlombaan hidup. Di mana karya saya? Pencapaian saya?

Mungkin itu sebabnya saya jarang buka media sosial. Alih-alih karena aneka "alasan mulia", seperti bikin kecanduan atau merusak mata, sebetulnya saya hanya belum siap untuk melihat dunia orang lain yang (kelihatannya) begitu sempurna.

Media sosial selalu mengingatkan saya tentang betapa dalamnya jurang kesenjangan antara apa yang saya pikirkan dan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup saya. Setiap visi masa kecil saya sekarang tampak seperti fantasi gila di siang bolong.

Segala sesuatu dalam hidup saya terasa terbalik. Menulis tak lagi menggairahkan, pagi bikin lesu dan malam makin mencekam, bergaul dengan teman-teman terasa seperti sebuah tugas. Saya mulai bertanya pada diri sendiri, apakah saya bahagia? Apa gunanya semua ini?

Saya telah melakukan banyak hal yang diperintahkan industri self-help agar menjadi sukses, tapi rasanya saya hanya berlari di atas treadmill. Padahal jika Anda menggambarkan kisah saya kepada saya sendiri, mungkin saya akan bilang, "Wow, keren!"

Tetap saja, kepala saya berdengung dengan pikiran obsesif tentang masa depan saya. Dalam jeda yang hening dan letih, saya terpikir untuk melarikan diri, untuk memulai lagi, atau mengubur diri dalam apa pun yang akan mengalihkan saya dari realitas saya sendiri.

Ini bukan masa dewasa yang saya impikan, tapi tetaplah masa yang berharga, hiruk-pikuk pengalaman dan pengembangan diri, sehingga bahkan ketika rasanya hidup ini terlalu berat untuk ditanggung, saya tetap menang karena saya bertahan dan menjalaninya.

Jadi, apa selanjutnya?


Minggu lalu saya menemukan buku harian saya semasa SMA. Halaman-halamannya penuh dengan kegelisahan dan kisah-kisah sedih mengenai cinta bertepuk sebelah tangan, keinginan yang tak kesampaian, dan keretakan pertemanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun