Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Inikah Quarter-Life Crisis, atau Hidup Memang Begini?

21 Juli 2023   07:18 Diperbarui: 25 Juli 2023   13:48 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mungkin saya sedang mengalami apa yang disebut "quarter-life crisis" | Ilustrasi oleh Avi Chomotovski via Pixabay

Hari itu saya mengobrol dengan tukang mie ayam langganan saya. Usianya mungkin 50-an, dan saya ingat dia mengeluh tentang tagihan listrik, iuran kuliah anaknya, dan menurunnya performa Persib Bandung di awal musim ini.

Saya kurang ingat kelanjutannya, karena sambil mendengarkan itu, saya juga berpikir tentang iuran kuliah, tagihan indekos, dan buku-buku. Bagaimanapun, saya ingat kalimat terakhirnya: "Mumpung kamu masih muda, jangan menyia-nyiakan hidup."

Itu cukup filosofis, tapi tetap saja bukan barang baru buat saya. Jauh sebelumnya, saya sudah sering dengar bahwa usia 20-an dan awal 30-an adalah waktu terbaik dalam hidup seseorang: kesehatan prima, tanggung jawab masih sedikit, penuh peluang dan risiko.

Tapi sebetulnya saya tak melihat banyak perbedaan antara saya dan bapak penjual mie ayam. Baginya, kepanikan disebabkan oleh terlalu banyak stabilitas, mudah diprediksi, serba pasti. Bagi saya justru sebaliknya: tak ada stabilitas, susah diprediksi, serba tak pasti.

Ini adalah tentang saya dan generasi saya - kami yang mulai menapaki usia seperempat abad, dan kelihatannya dunia tak seperti yang dijanjikan. Dan ini juga tentang serangkaian lamunan yang dingin dan tak berperasaan, serta bagaimana saya coba bertahan dengannya.

Kedewasaan adalah mitos

Danau Unpad Jatinangor, tempat saya mencari ketenangan sambil menulis beberapa artikel | Dokumentasi pribadi
Danau Unpad Jatinangor, tempat saya mencari ketenangan sambil menulis beberapa artikel | Dokumentasi pribadi

Setiap kali saya bertukar keluh kesah dengan teman-teman saya, jawaban mereka selalu klise: "Kita sedang mengalami quarter-life crisis." Katanya, usia 20-an dan awal 30-an merupakan periode yang tak stabil, penuh tekanan, dan sarat kecemasan.

Apakah quarter-life crisis itu nyata, atau hidup memang begitu?

Ada bukti bahwa dunia memang jadi tempat yang lebih sedih, lebih khawatir, dan lebih stres dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini terutama terjadi di perkotaan: nyaris semua orang merokok dan berselingkuh, para pria membeli motor sport dan obat uban.

Jadi, meskipun mungkin quarter-life crisis itu tak benar-benar ada, saya pikir menjadi 20-an tetaplah menakutkan, apalagi di masa sekarang: melawan jutaan lulusan lain untuk pekerjaan pertama, perumahan makin mahal, kebutuhan makin banyak, hubungan serba retak.

Kami seolah dilemparkan begitu saja ke pasar properti yang berbahaya. Kami menghasilkan lebih banyak dan membelanjakan lebih banyak dari sebelumnya. Kami berutang demi gelar dan karier kami. Kami diwarisi sisa alam yang lengang dan mengerikan.

Saya ingat pendapat Yuval Noah Harari dalam bukunya "21 Lessons for the 21st Century", bahwa jika manusia tak mampu bersaing dengan kecerdasan buatan di berbagai pekerjaan, mereka mungkin akan menjadi "useless class" karena ketidakrelevanan mereka.

Walau saya yakin bahwa saya akan bisa melangkahinya, secara bersamaan saya juga agak cemas tentang apa yang bakal terjadi pada saya tahun depan, minggu ini, atau bahkan hari ini. Saya mengenal beberapa orang yang hidupnya hancur karena satu peristiwa tak terduga.

Itu bikin saya overthinking. Belakangan saya cukup obsesif membandingkan diri saya dengan orang lain: menghakimi dan menilai diri sendiri, menghitung skor ketertinggalan saya dalam perlombaan hidup. Di mana karya saya? Pencapaian saya?

Mungkin itu sebabnya saya jarang buka media sosial. Alih-alih karena aneka "alasan mulia", seperti bikin kecanduan atau merusak mata, sebetulnya saya hanya belum siap untuk melihat dunia orang lain yang (kelihatannya) begitu sempurna.

Media sosial selalu mengingatkan saya tentang betapa dalamnya jurang kesenjangan antara apa yang saya pikirkan dan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup saya. Setiap visi masa kecil saya sekarang tampak seperti fantasi gila di siang bolong.

Segala sesuatu dalam hidup saya terasa terbalik. Menulis tak lagi menggairahkan, pagi bikin lesu dan malam makin mencekam, bergaul dengan teman-teman terasa seperti sebuah tugas. Saya mulai bertanya pada diri sendiri, apakah saya bahagia? Apa gunanya semua ini?

Saya telah melakukan banyak hal yang diperintahkan industri self-help agar menjadi sukses, tapi rasanya saya hanya berlari di atas treadmill. Padahal jika Anda menggambarkan kisah saya kepada saya sendiri, mungkin saya akan bilang, "Wow, keren!"

Tetap saja, kepala saya berdengung dengan pikiran obsesif tentang masa depan saya. Dalam jeda yang hening dan letih, saya terpikir untuk melarikan diri, untuk memulai lagi, atau mengubur diri dalam apa pun yang akan mengalihkan saya dari realitas saya sendiri.

Ini bukan masa dewasa yang saya impikan, tapi tetaplah masa yang berharga, hiruk-pikuk pengalaman dan pengembangan diri, sehingga bahkan ketika rasanya hidup ini terlalu berat untuk ditanggung, saya tetap menang karena saya bertahan dan menjalaninya.

Jadi, apa selanjutnya?


Minggu lalu saya menemukan buku harian saya semasa SMA. Halaman-halamannya penuh dengan kegelisahan dan kisah-kisah sedih mengenai cinta bertepuk sebelah tangan, keinginan yang tak kesampaian, dan keretakan pertemanan.

Tapi, di sisi lain, ada juga daftar hal-hal yang ingin saya capai di usia 25 tahun: jadi penulis yang sukses, menikah, memiliki Audi TT biru, rumah megah dan klasik dengan pekarangan terbuka dan trampolin di tengahnya, tempat di mana saya menatap bintang-bintang.

Saya mulai membayangkannya lagi. Saya kira saya akan menambahkan kolam ikan dan dua pohon tabebuya. Dan kepala saya kini berputar-putar, dada sesak dan telapak tangan penuh keringat. Mungkin saya akan membiarkan itu untuk sementara.

Saya pikir saya harus mengakui ketidakpuasan saya. Saya bisa saja pergi lebih cepat dan tak mendapatkan apa-apa, tapi saya hanya akan menerima hidup saya seperti sekarang ini, lalu tersenyum untuk mengirim sinyal pada otak saya bahwa saya baik-baik saja.

Saya pikir saya akan menggaruk-garuk kepala dengan lapang dada. Mungkin ini adalah hal terbaik dan paling jujur yang bisa saya lakukan dalam menghadapi kebingungan akan masa depan. Saya lebih baik bingung dan mencari tahu daripada panik dan menggigit ujung kuku.

Ini seperti mengendarai mobil di malam hari. Saya hanya bisa melihat sejauh lampu depan saya, tapi saya pikir itu sudah cukup untuk menyelesaikan seluruh perjalanan.

Saya pikir saya harus memanfaatkan krisis jadi peluang untuk berkembang, menjadikan saya antirapuh (antifragile). Seperti Hydra dalam mitologi Yunani, yang jika salah satu kepalanya dipotong akan tumbuh dua kepala baru, satu guncangan harus melipatgandakan kesempatan.

Ketika saya menulis ini, pikiran saya terus berpacu antara kenangan indah di masa kecil dan masa-masa berat belakangan ini. Hidup saya baik, saya beruntung, tapi duduk di meja saya setiap hari yang ingin saya lakukan hanyalah berteriak.

Suatu hari saya akan memiliki Audi TT biru itu, tapi buat sementara saya akan fokus untuk lulus ujian SIM. Saya bilang kepada seorang teman bahwa dia bisa menjadi pengacara, tapi saat ini cukup perbaiki dulu cara bicara. Selangkah demi selangkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun