Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Selain Resesi Ekonomi, Kita juga Terancam Resesi Persahabatan

24 Juni 2023   14:50 Diperbarui: 25 Juni 2023   20:00 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal tahun 2023, IMF dan Bank Dunia gencar memperingatkan tentang kemungkinan terjadinya resesi global. Namun, pernahkah Anda mendengar tentang resesi persahabatan (friendship recession)?

Itulah istilah yang digunakan oleh Daniel Cox, seorang cendekiawan di American Enterprise Institute, untuk menggambarkan peningkatan jumlah orang yang tak punya teman dekat atau sahabat yang bisa diajak bicara ketika terpuruk.

Sekitar 15% remaja Amerika Serikat melaporkan bahwa mereka tak punya teman dekat, dibandingkan dengan 3% pada tahun 1990-an. Inggris juga mengalami hal serupa: satu dari delapan orang Inggris (12%) mengatakan bahwa mereka hanya punya satu teman dekat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan resesi persahabatan (atau pertemanan, saya tak akan membedakan kedua istilah itu).

Nomor satu adalah mobilitas geografis. Orang-orang yang pindah ke kota besar guna mencari peluang karier, misalnya, memperluas jaringan pertemanan mereka, tapi pada saat yang sama meninggalkan pertemanan lama yang mungkin sudah begitu intim dan erat.

Kedua adalah kemajuan dan perluasan teknologi. Platform digital seperti media sosial mempermudah kita untuk tetap terhubung dengan sahabat, tapi cenderung bikin persahabatan jadi dangkal karena memudahkan kita untuk menghindari interaksi tatap muka.

Faktor berikutnya jauh lebih halus: orang coba beradaptasi dengan kesepian dan isolasi. Ini sedikit-banyak merupakan implikasi dari pandemi Covid-19, bukan berarti mereka berhenti bersosialisasi, tapi mereka telah belajar untuk hidup dengan kebutuhan yang tak terpenuhi.

Campur aduk antara ketakutan dan kesepian selama pandemi membuat orang yakin bahwa mereka harus bisa menyesuaikan diri dengannya: hidup tanpa teman dekat, tak peduli betapa sakit dan menyiksanya itu. Alhasil, waktu bersosialisasi menurun signifikan.

Bagaimanapun, walau kita merasa telah menyesuaikan diri untuk hidup tanpa teman dekat, nyatanya sama sekali tak begitu. Semakin lama kita menghabiskan waktu untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita tak butuh teman, justru rasa kesepian kita akan bertambah.

Ironisnya, kesepian bikin kita mengurung diri dan menganggap orang lain sebagai ancaman. Kita meremehkan nilai persahabatan, kita memilih untuk tak bergantung pada orang lain, yang ujung-ujungnya bikin kita semakin kesepian. Ini adalah lingkaran setan.

Bagaimana dengan Indonesia? Maksud saya, jika Amerika dan Inggris mengalami semacam resesi persahabatan, apakah berarti negara-negara lain seperti Indonesia juga (berpotensi) mengalaminya? Mungkin tidak, tapi tentu saja tak sesederhana itu.

Di satu sisi, kita bisa percaya bahwa kolam persahabatan masyarakat kita tampaknya semakin kering. Kita punya beberapa prasyarat serupa dengan Amerika dan Inggris: tingkat kesepian sangat tinggi, budaya kota mendominasi, candu media sosial, dan pandemi.

Di sisi lain, kita tak bisa mengonfirmasinya tanpa data yang absah. Mungkin kita memiliki sejumlah kondisi yang berbeda, misalnya tingkat mobilitas geografis dan gaya berinteraksi. Namun, secara umum, tingkat persahabatan memang cenderung menurun seiring waktu.

Tim peneliti dari Universitas Aalto (Finlandia) dan Universitas Oxford (Inggris) menemukan bahwa lingkaran pertemanan seseorang bakal menyusut ketika menginjak usia pertengahan 20-an, dengan perempuan kehilangan kontak lebih cepat daripada laki-laki.

Alasannya amat jelas: pada rentang usia itu, utamanya perempuan, orang menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan merawat anak, atau sibuk berkarier, yang membuat waktu mereka untuk menjalin pertemanan jadi berkurang.

Kendati masuk akal dan tampak tak terhindarkan, kita sebaiknya menghindari lubang kelinci tersebut.

Dalam studi terpanjang tentang kebahagiaan, di mana peneliti mengikuti orang-orang yang sama selama 85 tahun, ditemukan bahwa satu-satunya prediktor terbaik untuk kesehatan fisik dan psikologis seseorang adalah jumlah pertemanan dan hubungan keluarga.

Jadi, kendati mungkin kita tak mengalami resesi persahabatan seperti Amerika dan Inggris, mengingat data tentangnya belum ada, fakta bahwa tingkat pertemanan cenderung menurun seiring usia harusnya sudah cukup buat kita untuk membingkai ulang makna persahabatan.

Makna persahabatan

Berteman adalah bagian mendasar dari pengalaman manusia. Ini berarti persahabatan sama tuanya dengan manusia, dan perannya dalam kehidupan modern semakin menonjol seiring dengan memudarnya kewajiban tradisional terhadap keluarga atau suku.

Tak seperti hubungan keluarga atau suku, persahabatan dapat dipilih secara bebas. Terserah saya jika saya ingin bersahabat dengan seorang Jerman, walau sama sekali tak punya ikatan darah. Seperti kata pepatah, teman adalah keluarga yang kita pilih.

Persahabatan juga merupakan tema yang dianggap serius oleh para filsuf kuno. Jika kita balik ke Aristoteles, misalnya, dalam beberapa hal persahabatan dianggap sebagai hubungan paling ideal karena merepresentasikan semacam kebajikan (virtue).

Dalam persahabatan, orang membangun sebuah hubungan yang setara dan tulus, tak ada rasa ketergantungan, sama sekali bukan relasi transaksional. Seorang sahabat abai "apa untungnya buat saya"; dia hanya menjaga hubungannya, satu-satunya hal penting.

Saya akan menguraikan beberapa kriteria persahabatan dengan lebih ajek.

Pertama, persahabatan bersifat sukarela dan karenanya tak bisa dipaksakan. Berbeda dengan hubungan keluarga berbasis darah yang tak bisa dibatalkan, persahabatan dipilih secara bebas dan, jika perlu, kita bisa meninggalkannya.

Kita memilih masuk ke dalamnya, dan ada kemungkinan bagi kita untuk melepaskannya. Dan tak seperti ikatan sukarela lainnya, seumpama pernikahan dan hubungan romantis, persahabatan tak punya struktur formal.

Jika Anda seorang suami, menurut perintah agama, Anda diwajibkan mencari nafkah. Secara umum, Anda dan pasangan Anda juga terikat dalam sebuah janji kesetiaan. Andai kata Anda pergi berbulan-bulan, ada semacam tuntutan untuk rutin menghubungi pasangan Anda.

Persahabatan lebih elastis dan fleksibel, walaupun mungkin juga sepasang sahabat membuat sejenis perjanjian tertentu. Saya dan sahabat saya, misalnya, jika senggang, setiap Kamis sore akan bertemu di tepi danau kampus dan traktir makan secara bergiliran.

Intinya, sebagai kategori hubungan yang fleksibel, tak ada aturan budaya universal mengenai bagaimana sebuah persahabatan seharusnya berkembang. Karena sahabat memilih satu sama lain, mereka harus mencari tahu sendiri.

Kedua, persahabatan adalah hubungan pribadi. Artinya, orientasi persahabatan adalah person-qua-person, demi kepentingan orang lain. Saya bersahabat dengan dia bukan karena dia kaya atau anak pejabat, melainkan karena kualitasnya sebagai individu.

Kita juga bisa mengatakannya begini: persahabatan lebih dari sekadar perkenalan atau sering berjumpa, ini adalah hubungan yang dibangun atas dasar saling pengertian, kepercayaan, dan pengalaman bersama. Sahabat saling berbagi suka dan duka, bahkan kadang berbagi rahasia.

Ketiga, persahabatan adalah ikatan afektif (keterikatan emosional). Orang peduli, suka, dan mungkin sangat mencintai sahabat mereka. Dalam hubungan inilah, secara emosional, orang berinvestasi dalam kepuasan dan kebahagiaan satu sama lain.

Seorang sahabat memberi kita kenyamanan, semangat, dan telinga yang mendengarkan suka-duka kita. Namun, mengingat sifat kesukarelaannya, kedalaman pengaruh di antara sahabat dapat berkisar dari sekadar situasional, rutinitas hingga pengabdian seumur hidup.

Keempat, persahabatan adalah hubungan timbal balik. Artinya, sebagai ikatan yang bersifat relasional, persahabatan dicapai dan dipertahankan secara komunikatif, biasanya melalui kegiatan bersama, yang menunjukkan rasa saling menghargai satu sama lain.

Tanpa timbal balik, persahabatan akan turun tingkat jadi kenalan atau rekan semata. Dengan demikian, walau persahabatan bukan hubungan transaksional, orang tetap bersahabat sejauh mereka terus memenuhi harapan dan standar yang dikembangkan bersama.

Tak heran kalau sebuah persahabatan punya ritual atau kebiasaan tertentu, lebih dari sekadar sarana berinteraksi secara rutin, tapi terutama sebagai sesuatu yang menjadikan persahabatan tersebut bermanfaat bagi satu sama lain.

Saya dan sahabat saya, umpamanya, jogging setiap Sabtu sore. Di setiap langkah itu, kami berbagi cerita tentang apa pun: kadang kejadian lucu beberapa hari lalu, atau mengapa warna biru begitu langka di alam, atau berkhayal tentang dominasi AI di masa depan.

Manfaatnya jauh lebih halus dari dugaan orang; itu bisa berupa kelegaan hati setelah sekian lama memendam cerita dan keluh kesah, atau belajar caranya duduk dan hanya mendengarkan, atau jika beruntung, belajar sesuatu yang mungkin tak akan pernah bisa kita pelajari sendiri.

Kelima dan terakhir, persahabatan cenderung ke arah hubungan yang setara. Kendati sahabat kita mungkin berbeda dalam hal atribut pribadi atau status sosial, itu tak akan berarti banyak. Dalam persahabatan, saya dan Anda berdiri setara dan sederajat melampaui usia atau status.

Kita harus percaya bahwa kita cukup setara dengan sahabat kita dalam hal kekuatan dan kapasitas, dan bahwa jika mereka mengungguli kita dalam satu aspek, kita punya kualitas penyeimbang di aspek lain.

Superioritas yang terlalu besar dalam diri satu orang akan mengganggu keseimbangan, yang ujung-ujungnya mengganggu setiap pembicaraan dan interaksi. Makanya, mulai dari masa anak-anak, persahabatan adalah tempat di mana orang memahami keadilan dan kerja sama.

Hidup terlalu berat tanpa sahabat

Kehidupan modern tampaknya semakin tak bersahabat untuk persahabatan. Jika persahabatan adalah tetumbuhan, tanahnya sudah terlalu kering dan tak lagi subur. Berbeda dengan orang dulu yang tahu siapa saja anggota sukunya, kita cenderung terjebak dalam anonimitas kota.

Itu bikin persahabatan semakin sulit, entah dimulai atau dipertahankan. Bagaimanapun, saat masyarakat berubah dalam berbagai cara, dari teknologi sampai ekonomi, saya pikir penting bagi kita untuk tetap menghargai dan memperjuangkan persahabatan.

Sebagaimana telah saya uraikan, ada banyak faktor yang memengaruhi kesehatan mental dan fisik, tapi punya beberapa teman dekat mungkin merupakan salah satu variabel yang paling penting dari semuanya.

Dengan kata lain, untuk semua jenis hasil kesehatan, persahabatan bisa jadi merupakan salah satu investasi terbaik untuk waktu dan energi kita. Kata C.S. Lewis: "Persahabatan tak punya nilai untuk abadi, tapi inilah salah satu hal yang memberikan nilai untuk bertahan hidup."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun