Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Kita Gampang Percaya pada Teori Konspirasi?

2 Juni 2023   06:00 Diperbarui: 2 Juni 2023   06:29 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu pengetahuan sudah berkembang pesat, mengapa orang masih gampang percaya pada teori konspirasi? | Ilustrasi oleh Markus Winkler via Pixabay

Apakah NASA memalsukan pendaratan di bulan? Apakah mereka menyembunyikan alien di Area 51? Apakah Bumi itu datar? Apakah pemanasan global adalah tipuan? Benarkah vaksin melumpuhkan orang? Apakah pandemi Covid-19 merupakan rekayasa elite global?

Jawaban untuk semua pertanyaan itu adalah "tidak", tapi teori konspirasi yang berseliweran di internet akan berargumen sebaliknya. Dan betapa pun anehnya itu, selalu ada orang yang mempercayai dan mempertahankannya sepenuh hati.

Teori konspirasi memang telah lama membuat manusia terpesona dan bingung. Kemunculan radio dan televisi, kemudian media sosial, terbukti cukup mengkhawatirkan dalam hal marak dan menjamurnya teori konspirasi.

Kini, ada alasan untuk percaya bahwa artificial intelligence (AI) akan semakin memperkeruh produksi dan penyebaran teori konspirasi. Kecepatan AI dalam menghasilkan disinformasi berkualitas tinggi amatlah luar biasa, misalnya melalui teknologi deepfake.

Teknologi semacam itu mungkin belum "sempurna", tapi sebetulnya kita tak perlu teknologi canggih untuk membuat orang percaya pada teori konspirasi. Kita hanya butuh kecepatan dan sesekali perbaikan manual, serta orang-orang fanatik yang tak suka dengan narasi mapan.

Artikel ini bakal mengeksplorasi beberapa alasan mengapa kita gampang percaya pada teori konspirasi, dan bagaimana kita dapat menepisnya di lain waktu. Namun pertama-tama, saya perlu memperjelas pengertian dan bahaya teori konspirasi itu sendiri.

Apa itu teori konspirasi?

Teori konspirasi tentu saja bukan "teori" dalam pengertian ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan, teori adalah penjelasan tentang suatu fenomena yang telah dibuktikan lewat eksperimen dan pengujian, serta telah diterima oleh sebagian besar ahli di bidang terkait.

Sebaliknya, para penganut teori konspirasi menyatakan, tanpa mengumpulkan data yang kuat untuk membuktikan kepercayaan mereka, bahwa individu atau kelompok super power secara diam-diam berkomplot mengejar tujuan jahat.

Teori-teori ini mengajukan penjelasan alternatif untuk peristiwa atau fenomena penting, dan isinya sering kali bertentangan dengan cerita yang sudah diterima secara luas atau penjelasan resmi yang dibeberkan pihak berwenang.

Para penganut teori konspirasi biasanya mengklaim bahwa peristiwa sejarah, temuan ilmiah, atau perkembangan politik sengaja disalahartikan, dimanipulasi, atau disembunyikan untuk menipu publik. Inilah mengapa teori konspirasi sering terdengar bombastis.

Perlu dicatat, walau sama-sama bersifat meragukan, teori konspirasi tak sama dengan skeptisisme atau analisis kritis. Skeptisisme mendorong orang untuk bertanya dan berpikir; teori konspirasi justru menyediakan "bukti alternatif", biasanya cocokologi.

Bagaimanapun, kejadian di mana tokoh-tokoh yang berkuasa diam-diam berkomplot untuk mengejar tujuan jahat memanglah ada. Skandal Watergate di Amerika, misalnya, merupakan "teori konspirasi" yang benar-benar terekam keasliannya.

Namun, jika "konspirasi" semacam itu terungkap sebagai fakta, mungkin kita harus berhenti menyebutnya sebagai teori konspirasi, memasukkannya ke dalam laci sejarah sebagaimana peristiwa-peristiwa kelam lainnya di masa lalu.

Mengapa orang percaya pada teori konspirasi?

Kita selalu ingin memahami sesuatu. Dulu, sains tak bisa menjelaskan banyak fenomena yang ditemui manusia, sehingga respons termudah dan paling efisien terhadap pertanyaan yang tak terjawab adalah dengan menciptakan mitos-mitos.

Kini sains masih belum bisa menjawab segalanya, tapi setidaknya kita sudah tak sebingung dulu dalam banyak hal. Kalau begitu, mengapa orang percaya pada teori konspirasi, bahkan ketika ada seabrek bukti yang menunjukkan bahwa teori tersebut keliru?

1. Kebutuhan epistemik

Kebutuhan epistemik mengacu pada kebutuhan akan pengetahuan dan informasi. Saat suatu peristiwa besar terjadi, seperti yang saya bilang tadi, kita secara alamiah ingin tahu mengapa hal itu terjadi. Kita ingin penjelasan dan kebenaran.

Inilah mengapa, mengingat keingintahuan adalah sesuatu yang sangat alamiah, setiap orang bisa menjadi mangsa teori konspirasi kalau mereka memiliki kebutuhan epistemik yang tak terpenuhi pada waktu tertentu.

Kebutuhan epistemik mendorong orang untuk mencari penjelasan, terutama saat menghadapi informasi yang ambigu atau kontradiktif. Teori konspirasi, dalam konteks ini, menawarkan penjelasan yang terkesan akurat, dan karenanya memberi kita kepastian serta makna.

2. Kebutuhan akan kepastian dan kontrol

Jika sesuatu telah terjadi, kita tak suka merasa lemah dan rentan. Kita ingin punya semacam kendali atau otonomi atas hal-hal yang telah terjadi. Teori konspirasi memberi kita perasaan seperti itu, atau setidaknya memberitahu kita mengapa kita tak berdaya.

Dalam hal ini, teori konspirasi tak hanya menjelaskan sebab-akibat suatu kejadian, tapi juga memungkinkan kita untuk melihat dunia ini sebagai sesuatu yang teratur, dapat dimengerti, dan bisa diprediksi.

Teori konspirasi biasanya mengubah narasi kompleks jadi lebih sederhana, kendati dengan cara mengartikan berbagai peristiwa sebagai rencana jahat. Dengan menyalahkan dan mengidentifikasi pelakunya, orang bisa memperoleh (sedikit) kepastian dan rasa kendali.

Demikianlah mengapa teori konspirasi cenderung muncul ketika orang merasa khawatir dan terancam, tumbuh dan berkembang di bawah kondisi yang serba tak pasti. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa orang yang tak berdaya lebih mungkin untuk percaya teori konspirasi.

Sederhananya, supaya berhasil dan meluas, sebuah teori konspirasi harus ditargetkan kepada orang-orang yang bersedia mempercayainya, tepat pada saat mereka kemungkinan besar akan mempercayainya, dan harus ada individu atau kelompok yang disalahkan.

Semisal, jaringan 5G konon dapat mengancam kesehatan manusia. Teori konspirasi ini sudah ada sejak lama, tapi pada tahun 2020, teori ini berpindah dari isu sampingan jadi kepercayaan arus utama ketika narasi itu dihubungkan dengan Covid-19.

Pada April 2020, sebuah artikel di The New York Times melaporkan bahwa teori konspirasi tersebut mengakibatkan lebih dari 100 insiden dalam sebulan di Inggris, termasuk perusakan dan pembakaran menara nirkabel di Birmingham.

Itu adalah contoh bagus dari teori konspirasi yang sudah ada sejak lama, tapi baru booming saat orang-orang merasa rentan dan cemas, yang akhirnya membuat orang terbuka untuk mempercayai sesuatu yang mungkin akan mereka tolak dalam kondisi normal.

Namun demikian, penelitian menemukan bahwa teori konspirasi sebetulnya tak benar-benar mengurangi kecemasan atau ketidakpastian seseorang. Justru sebaliknya, orang makin cemas dan terancam ketika mereka terlibat dengan teori konspirasi.

Jadi, orang yang tadinya merengkuh teori konspirasi agar dirinya merasa pasti tentang suatu hal, misalnya terkait dampak vaksin atau kondisi iklim, biasanya berakhir dengan tingkat kecemasan dan ketidakpastian yang lebih besar lagi.

Dalam pengertian ini, teori konspirasi tampaknya hanya lebih menarik daripada memuaskan.

3. Bias konfirmasi

Begitu sebuah keyakinan terbentuk, orang akan sangat ingin mempertahankannya. Ini berarti, orang cenderung mencari informasi yang mengonfirmasi keyakinannya dan kemudian menafsirkan peristiwa melalui lensa keyakinan ini, mengabaikan bukti tandingan.

Itu adalah bias konfirmasi: tendensi orang untuk mencari dan meyakini data yang mendukung pandangan mereka sendiri sambil mengabaikan hal-hal yang menentangnya. Bias konfirmasi juga memungkinkan orang untuk memilah informasi sesukanya.

Teori konspirasi sering kali mengeksploitasi bias ini, menyajikan narasi terdistorsi yang sesuai dengan keyakinan yang sudah terbentuk sebelumnya. 

Jika orang ingin percaya bahwa Bumi itu datar, bias konfirmasi akan mendiktenya untuk menonton kanal YouTube tertentu yang bilang bahwa Bumi itu memanglah datar.

4. Efek ruang gema

Kita adalah hewan sosial dan, menurut sudut pandang evolusi, status kita dalam masyarakat jauh lebih penting daripada menjadi benar. Akibatnya, kita terus-menerus membandingkan dan menyesuaikan tindakan dan keyakinan kita dengan rekan-rekan kita.

Dengan demikian, jika kelompok sosial kita mempercayai sesuatu, dan kita jadi terlalu sering terpapar olehnya, maka kepercayaan tersebut bakal tertanam dalam pandangan kita, dan kita pun jadi cenderung mengikuti kawanan.

Teori konspirasi, dalam konteks ini, dapat menumbuhkan rasa memiliki dan kebersamaan. Ini bikin para penganutnya menemukan penghiburan dan keamanan ketika berhubungan dengan orang-orang yang berpikiran sama, plus punya kecurigaan terhadap musuh yang sama.

5. Perasaan tertindas

Orang-orang yang menempatkan diri mereka sebagai korban lebih cenderung mendukung teori konspirasi mengenai niat jahat sekelompok orang yang super power. Ini karena teori konspirasi membebaskan orang dari rasa bersalah atas posisi mereka yang kurang beruntung.

Teori konspirasi dapat membantu orang untuk memuliakan dirinya sendiri atau kelompoknya dengan membiarkan tanggung jawab atas hasil negatif dibebankan kepada orang lain. Dalam hal ini, orang percaya dirinya bermartabat, hanya saja disabotase oleh penguasa tertentu.

6. Terlalu percaya diri

Sementara orang bisa mendukung teori konspirasi saat dirinya merasa tertindas, pada kasus lain orang juga bisa mendukung teori konspirasi ketika dirinya merasa percaya diri, tepatnya terlalu percaya diri atau narsis.

Ini berkaitan dengan kebutuhan kita untuk dianggap unik dan spesial. Kita punya informasi yang tak dimiliki oleh orang lain. Kita berbeda dengan orang lain dan itu bikin kita merasa istimewa.

Dalam kondisi ini, orang bukan hanya tak menyadari bahwa keyakinan mereka tak punya bukti kuat, tapi juga tak menyadari bahwa orang lain sebenarnya menolak keyakinan mereka. Ini karena kepercayaan diri yang berlebihan bikin kita "buta dan tak tahu diri".

Cara menepis teori konspirasi

Teori konspirasi tak mudah disanggah; kita tahu itu. Begitu teori konspirasi beredar di luar sana, orang-orang dapat dengan cepat mempercayainya. Dan ketika orang berpegang padanya selama beberapa waktu, upaya untuk melepaskannya akan sangat sulit.

Bagaimanapun, mengingat dampak teori konspirasi lebih dari sekadar bising di media sosial dan sering menimbulkan kegaduhan-kegaduhan nyata, apatisme bukanlah jalan terbaik. Kita harus berusaha untuk menepisnya sedini mungkin sebelum mekar terlalu "indah".

Langkah pertama adalah kesadaran diri. Kita telah melihat bagaimana teori konspirasi sering kali dipercaya sebagai cara untuk mengatasi ketidakpastian dan kecemasan. Jadi, ketimbang panik dan ingin cepat-cepat mencari penjelasan, kita sebaiknya beralih ke mode bingung.

Panik adalah salah satu bentuk keangkuhan karena berasal dari perasaan sombong bahwa "aku tahu persis apa yang terjadi dan ini hanya akan jadi lebih buruk". Kebingungan lebih rendah hati. Orang-orang yang bingung biasanya berkata begini:

"Oke, aku tak tahu apa yang terjadi dan aku bisa saja terpapar kebohongan. Informasi yang salah itu sudah berseliweran di luar sana, jadi aku harus mewaspadainya." Sikap ini sedikit-banyak akan membantu kita untuk tak buru-buru meyakini sesuatu.

Langkah kedua adalah mengasah keterampilan berpikir kritis dan analitis. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa teori konspirasi lebih sering didukung oleh mereka yang kurang atau tak mau berpikir kritis dan rasional.

Mereka cenderung membuat cocokologi dan melebih-lebihkan penjelasan kausal atas sebuah kejadian besar. Di sisi lain, sebaliknya, orang yang berpikir kritis dan analitis lebih mampu mengendalikan kebutuhan epistemiknya sehingga tak buru-buru percaya pada sesuatu.

Jadi, jika Anda menemukan penjelasan alternatif atas sebuah kejadian besar, dan cerita itu terlalu menyederhanakan masalah dan menyalahkan satu pihak saja, waspadalah dan coba periksa logika klaim mereka berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Pada akhirnya, kita semua memang bisa agak paranoid pada waktu-waktu tertentu, terutama ketika kita sedang sedih atau kecewa atau terancam. Ini adalah bagian dari sifat alamiah kita sebagai manusia.

Perbedaannya, para penganut teori konspirasi menolak segala informasi baru yang menentang keyakinan inti mereka, sedangkan yang lainnya berpikiran terbuka dan mengevaluasi aneka bukti (atau paling tidak mempertanyakan firasat mereka sendiri dengan sepenuh hati).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun