Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ingin Dapat Jawaban di Internet? Jangan Bertanya, Cobalah Hukum Cunningham

2 Mei 2023   20:16 Diperbarui: 3 Mei 2023   07:57 3972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kadang cara terbaik mendapatkan jawaban di internet adalah dengan memposting jawaban yang salah | Ilustrasi oleh M. H. via Pixabay

Matahari itu datar. Lumba-lumba adalah sejenis ikan. Limpa merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Apa reaksi pertama Anda? Kemungkinan besar, Anda akan terkejut dengan ketidaktahuan saya sambil tertawa kecil.

Kebanyakan orang tak tahan mendengar atau melihat pernyataan yang (dianggap) salah. Lihat saja forum online atau media sosial seperti Quora dan Twitter: pernyataan yang salah bakal ditanggapi dengan argumen yang menggebu-gebu dan pengetahuan yang mengalir deras.

Saya ingat seorang teman tergagap-gagap dan tersedak karena tergesa-gesa mengoreksi saya, setelah saya bilang bahwa Jakarta adalah kota terpadat di dunia. Dia jelas ingin membuka mata saya terhadap kebenaran.

Dia menyodorkan bukti dari internet bahwa kota terpadat di dunia adalah Tokyo, kemudian menjelaskan alasannya secara rinci. Dia benar. Saya mendengarkan. Saya tahu bahwa Jakarta bukan kota terpadat di dunia, tapi saya tak tahu apa jawaban tepatnya. Saya bereksperimen.

Dari situ saya mendapati kesimpulan aneh: kadang kita belajar lebih banyak tentang sesuatu ketika kita sengaja melontarkan “fakta yang salah” ketimbang kalau kita bertanya. Alasannya cukup mendasar: orang lebih senang mengoreksi daripada sekadar menjawab.

Kita manusia mencoba mengatur dunia di sekitar kita sesuai dengan gagasan kita tentang apa yang benar. Hasrat ini begitu kuat sampai-sampai sering memengaruhi perilaku kita. Inilah mengapa kita merasa tak tahan untuk mengoreksi orang yang salah. 

Salah satu cara halus untuk melihat (atau mungkin, membuktikan) kecenderungan semacam itu adalah dengan menggunakan Hukum Cunningham.

Ironi Socrates di zaman internet

"Duty Calls" oleh xkcd via https://xkcd.com/386/

Hukum Cunningham adalah sebentuk prinsip yang menyatakan bahwa “cara terbaik mendapatkan jawaban yang benar di internet bukanlah dengan mengajukan pertanyaan, melainkan dengan memposting pernyataan yang salah.”

Ketika kita mengajukan pertanyaan di internet, entah forum diskusi atau media sosial, kita berharap seseorang akan meluangkan waktu untuk membantu kita. Hukum Cunningham agak lain: untuk memperoleh jawaban yang benar, kita sebaiknya memposting jawaban yang salah.

Misalnya, katakanlah saya sedang mencari tahu bintang paling terang di langit malam. Alih-alih mengajukan pertanyaan secara langsung, saya memposting pernyataan begini: “Vega adalah bintang paling terang di langit malam.”

Kemungkinannya adalah seseorang bakal segera membalas dan mengoreksi kesalahan saya bahwa bintang paling terang di langit malam bukanlah Vega, melainkan Sirius. Ini hanyalah contoh kecil.

Seiring berjalannya waktu, saya memandang Hukum Cunningham kadang lebih bagus untuk mengetahui suatu informasi daripada sekadar bertanya tanpa sinyal emosional apa pun. Sebagian besar orang tak tahan dengan pernyataan salah yang tak dikoreksi.

Suatu kali saya bilang kepada seorang teman kelas bahwa Karl Marx sebenarnya tak pernah menolak agama. Dia spontan membantah saya dan berbicara lebih lama dari biasanya. Saya bahkan tak diberi kesempatan untuk menjelaskan maksud saya.

Namun secara bersamaan, ketika saya bersedia mendengarkannya dengan sepenuh hati, saya mengetahui beberapa hal baru tentang Marxisme. Di momen lain saya mengulangi kenakalan saya. Kali ini saya benar-benar duduk sambil menikmati makanan ringan.

Hukum Cunningham dicetuskan oleh Steven McGeady pada tahun 2010. Dia mengirimkan sebuah artikel ke New York Times, mengenang pengalaman kerja samanya dengan Ward Cunningham, penemu wiki, sekitar tahun 1980-an.

Menurut McGeady, Cunningham pernah memberikan nasihat iseng bahwa orang lebih cepat mengoreksi jawaban yang salah ketimbang menjawab pertanyaan. Meski mulanya mengacu pada interaksi di Usenet, nasihat itu tampaknya juga berlaku di komunitas online lainnya.

Cunningham sendiri sebenarnya menyangkal kepemilikan atas “hukum” tersebut. Menurutnya, kalaulah Hukum Cunningham itu memang benar, menyebarkannya di internet justru akan membantah dirinya sendiri.

Namun terlepas dari itu, Hukum Cunningham sebenarnya bukanlah sesuatu yang orisinal. Sebuah pepatah Prancis bilang: “beritakanlah kepalsuan untuk mengetahui kebenaran”.

Sherlock Holmes mungkin akan setuju dengan prinsip tersebut. Dalam serial TV terkenal “Sherlock”, misalnya, ada sebuah kalimat begini: “Orang-orang tak suka memberitahumu tentang sesuatu. Mereka suka membantahmu.”

Pada tahun 80-an, ketika Cunningham diduga mengatakan kalimat yang dibantahnya, internet dibangun berdasarkan diskusi, kolaborasi, dan kemauan untuk bereksperimen tanpa takut berbuat salah.

Sekarang, berkat sumber informasi seperti Wikipedia dan (baru-baru ini) ChatGPT, sebagian besar informasi dapat ditemukan tanpa interaksi langsung dengan manusia. Kini kita punya akses yang lebih mudah terhadap informasi, tapi kita juga cenderung mendistorsinya.

Inilah mengapa orang masih kerap melakukan kesalahan secara online, atau setidaknya kita mengira orang telah berbuat salah. Secara bersamaan, kita senang menjadi benar. Kita bahkan lebih senang lagi kalau semua orang tahu bahwa kita benar.

Di ruang mana pun, terutama forum diskusi online dan kolom komentar media sosial, hampir selalu ada orang yang ingin dilihat sebagai yang terbaik. Jika mereka terbukti keliru, berbagai fitur memungkinkan mereka untuk “lari” atau menampilkan diri sebagai anonim.

Itu membuat risiko yang dipertaruhkan sangatlah kecil. Mereka jadi begitu leluasa. Mereka mau orang lain terkesiap dengan kecerdasan superior mereka atau ketajaman yang diperoleh susah payah selama bertahun-tahun.

Kecenderungan semacam itu sebenarnya kuno. Sekitar abad ke-4 SM, Socrates menunjukkan bagaimana orang-orang tak sudi mengakui dirinya salah, kendati kesalahannya sudah terang-benderang.

Socrates memakai sebentuk ironi dalam percakapannya: dia bakal berpura-pura tak tahu atau memegang posisi yang sebenarnya tidak ia yakini guna menunjukkan kontradiksi dan kelemahan dalam argumen lawan bicaranya.

Dalam dialog “Apologi” Plato, misalnya, Socrates menampilkan dirinya sebagai orang yang tak tahu apa-apa tentang tuduhan yang ditujukan kepadanya, dan kemudian berusaha untuk memahaminya dari para penuduhnya.

Lewat serangkaian pertanyaan yang mengganggu, Socrates telah membeberkan kurangnya pengetahuan mereka, sehingga tuduhan terhadapnya tidaklah adil. Bagaimanapun, Socrates tetap dihukum mati. Ini menunjukkan betapa fanatiknya orang untuk menjadi benar.

Jangan sembarangan memakai Hukum Cunningham

Sebelumnya saya bilang bahwa Hukum Cunningham kadang lebih bagus untuk memperoleh informasi ketimbang mengajukan pertanyaan belaka. Dalam beberapa kesempatan, saya pikir ini bisa sangat berbahaya seperti trolling.

Alih-alih mendapatkan jawaban dan argumen baru yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh kita, penggunaan Hukum Cunningham mungkin malah menjadikan kita keliru tentang sesuatu. Pasalnya, orang yang menjawab kita belum tentu seorang ahli.

Jika saya adalah seorang bocah yang baru saja menonton YouTube tentang serangkaian teori konspirasi paling populer di dunia, kemudian saya memposting sebuah Tweet bahwa “Bumi itu datar”, saya mungkin malah semakin diyakinkan bahwa Bumi memanglah datar.

Ya, sebagaimana paradoks Dunning-Kruger, orang-orang yang merasa tahu biasanya lebih lantang dalam menyuarakan pendapatnya ketimbang mereka yang benar-benar tahu dan ahli. Dalam konteks ini, Hukum Cunningham bisa jadi menyesatkan kita.

Kalaupun saya sekadar berpura-pura tak tahu dan memposting sebuah jawaban salah, dalam arti saya tahu jawaban sebenarnya sehingga tak mungkin disesatkan, justru sekarang orang lainlah yang mungkin disesatkan oleh saya.

Kevin Donnellan pernah membagikan pengalamannya di The Outline dalam menguji Hukum Cunningham. Dia mengambil foto gunung berapi di Venus untuk mempostingnya dengan judul: “3D perspective view of Maat Mons on Mercury.”

Para komentator tak menanggapinya dengan “itu di Venus, sobat”. Sebaliknya, postingan itu disukai dan dikomentari seolah itu benar. Beberapa jam kemudian, seseorang mengoreksinya, tapi ratusan ribu orang yang melihat postingan itu mungkin terlanjur mempercayainya.

Lagi pula, kalau memang cara terbaik mendapatkan jawaban yang benar di internet adalah dengan memposting jawaban yang salah, maka seharusnya tak akan ada banyak kebohongan di internet.

Dengan kata lain, kendati jumlah orang yang memakai Hukum Cunningham mungkin sedikit, kita tak bisa mempercayai sebuah koreksi pedas begitu saja. Saya pikir hukum ini bekerja paling baik kalau kita sendiri sudah cukup yakin dengan pengetahuan kita sendiri.

Terlebih, sementara orang suka terlihat lebih pintar dari orang lain, substansi dari jawaban-jawaban mereka mungkin kurang tepat. Bahkan saya pikir, kualitas jawaban seorang ahli yang arogan cenderung lebih buruk daripada seorang ahli yang tulus.

Persoalannya jadi lebih runyam kalau kita mengajukan pernyataan yang debatable. Postingan seperti “Kapitalisme adalah sistem ekonomi terbaik” tampaknya akan membuat sekelompok Marxis ortodoks keluar dari sarangnya, memberitahu betapa salahnya kita.

Padahal kalau kita bertanya kepada ekonom yang sebenarnya, tanggapan mereka biasanya lebih moderat: “Itu tergantung,” atau, “Itu rumit.”

Dan inilah risiko lainnya dari penerapan Hukum Cunningham: orang cenderung mendukung jawaban yang mereka suka, seolah fakta bisa dipilih sesuai selera. Mereka memenjarakan diri sendiri dalam ruang gema. Pokoknya “aku benar, dia salah”.

Pada akhirnya, sebagai penutup, Hukum Cunningham hanyalah sebuah ide yang berasal dari internet. Saya belum menemukan dasar ilmiahnya, tapi tentu saja saya melewatkan banyak hal. Saya bahkan ragu bahwa prinsip ini bisa disebut “hukum”.

Namun, kalaupun kita menganggapnya hanya sebagai anekdot belaka, Hukum Cunningham buat saya tetaplah menarik. Hukum Cunningham adalah cara untuk mengakses pengetahuan melalui pintu belakang saat pintu depan tertutup rapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun