Gagasan tersebut punya pembenaran saintifik. Setidaknya dalam kurun 10 tahun terakhir, kita disuguhi banyak penelitian yang menunjukkan bahwa obsesi kita terhadap kebahagiaan justru bikin kita kurang puas pada kehidupan kita.Â
Kesimpulan yang dicapai juga mirip-mirip: kita bakal lebih bahagia kalau kita berhenti fokus pada kebahagiaan, dan bahwa menerima emosi kita apa adanya akan memberi kita kesempatan yang lebih baik untuk membuka kebahagiaan sejati.Â
Mengapa, secara paradoksal, mengejar kebahagiaan itu malah bikin kita makin tak bahagia? Saya meringkas sedikitnya tiga alasan.
Pertama, terus-menerus memerhatikan suasana hati kita bisa mencegah kita untuk menikmati kebahagiaan yang ada di depan mata. Ini karena kebahagiaan adalah emosi sesaat yang tak bisa kita alami sepanjang waktu.
Alhasil, saat kita hanya berfokus pada pencapaian kebahagiaan, kita jadi cenderung menyangkal segala emosi negatif, yang nantinya bikin kita merasa tak mampu untuk bahagia. Lantas kita pun frustrasi serta kecewa, dan sekali lagi, kita makin menjauh dari kebahagiaan.
Kedua, kita cenderung cepat beradaptasi dengan tingkat kesenangan yang baru, dan akhirnya kita juga cepat merasa biasa saja. Konsep ini biasa disebut "adaptasi hedonis": orang yang mengalami peristiwa positif bakal kembali ke tingkat dasar kebahagiaan.
Inilah mengapa, konon, seseorang yang memenangkan lotre milyaran rupiah dan seseorang yang mengalami kecelakaan sampai tubuhnya cacat permanen, setelah beberapa waktu singkat, tingkat kebahagiaan mereka kurang-lebih bakal setara.
Masing-masing mulai beradaptasi dengan nasibnya yang berubah, sehingga pada titik tertentu mereka sama-sama merasa biasa saja. Tapi lebih jauhnya, adaptasi hedonis juga bisa menjadi pengejaran yang tak berujung.
Ketika orang mendapati kebahagiaannya cepat memudar, mereka menginginkan lebih dengan menaikkan standar kebahagiaannya. Namun, mereka balik mengalami adaptasi hedonis, dan kini mereka jadi tak bisa menghargai kesenangan sehari-hari yang berarti buat hidup mereka.
Ketiga, kebahagiaan adalah hasil, bukan metode. Seperti yang kita lihat, manusia mencapai kebahagiaan bukan dengan cara mengejarnya, melainkan dengan mencari alasan untuk jadi bahagia.
Itu bekerja sebagaimana halnya tawa. Jika kita ingin orang tertawa, kita harus memberinya alasan, semisal menceritakan sebuah lelucon. Muskil untuk mendesak atau menyuruh orang agar tertawa begitu saja.