Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

7 Persoalan dalam Industri Self-Help yang Patut Diwaspadai

12 Maret 2023   06:00 Diperbarui: 13 Maret 2023   03:34 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Praktikkan sesuai konteks, yang berarti kita harus mengenal diri sendiri terlebih dulu. Sebuah buku self-help tak bisa membantu kita kalau kita sendiri tak tahu pasti apa yang dibutuhkan. Tak ada orang yang bisa membahagiakan kita, bahkan guru self-help sekalipun.

5. Maraknya pseudosains dan informasi yang salah

Konsekuensi dari poin sebelumnya adalah, industri self-help dibanjiri ilmu pengetahuan yang semu (pseudosains) dan bahkan informasi yang salah. Mereka kerap menyajikan klaim tanpa dukungan bukti ilmiah, sekadar memberitahu pembaca bahwa cara itu berhasil bagi mereka.

Tentu ada beberapa praktik self-help yang telah divalidasi secara ilmiah: meditasi atau mindfulness, menulis jurnal, berbagi dengan orang lain. Namun, kebanyakan darinya hanyalah pseudosains: ramalan kartu, telekinesis dan, agak kontroversi, the law of attraction.

Inilah imbas dari industri yang menawarkan bantuan kepada banyak orang tapi digerakkan oleh pasar, bukan industri yang ditinjau oleh para ahli. Demikianlah, pembaca bertanggung jawab untuk menyaring materi, dan ini bukanlah perkara mudah.

Kata-kata mutiara saja bukan berarti itu benar dalam kehidupan nyata.

6. Terlalu fokus pada aspek kebahagiaan

Robert Plutchik menciptakan sebuah model emosi berbentuk roda, yang mana menurutnya kita memiliki 8 emosi dasar serta 24 variasi dan kombinasinya. Namun industri self-help biasanya terobsesi dengan satu hal: kebahagiaan.

Penekanan ini, alih-alih membantu kita mencapai atau mempertahankan kebahagiaan, justru sering berujung pada frustrasi karena menjadi bahagia sepanjang waktu bukanlah tujuan yang masuk akal. Ironisnya lagi, kebahagiaan bukan untuk dikejar.

Memang, kita semua mencari sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan, atau setidaknya meringankan penderitaan kita. Namun pencarian itu terlalu disederhanakan dan menjauhkan kita dari jalan pertumbuhan-diri yang lebih mendalam.

Penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Lebih tepatnya, semua emosi memiliki makna dan tujuannya tersendiri jika kita mampu mengetahui apa yang dikatakan emosi kepada kita. Saya bahkan sering mengira betapa hampanya hidup jika orang hanya mengalami satu emosi saja.

7. Mengabaikan masalah sistemik

Produk-produk self-help sering kali berfokus pada perilaku dan pola pikir individu, tanpa menangani masalah sistemik yang lebih besar. Padahal, dalam banyak contoh, masalah itulah yang menyebabkan pengembangan pribadi sangat sulit.

Bayangkan jika saya menasihati warga Palestina atau Ukraina dengan kalimat berikut: "Coba periksa diri Anda sendiri. Kecemasan tak bisa muncul tanpa izin Anda. Semuanya bersumber dari pikiran. Esok pagi, bermeditasilah dan resapi keagungan alam sekitar Anda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun