Sekarang asumsikan bahwa mereka bersedia untuk mengikuti "kebijaksanaan" orang lain, kata demi kata. Ironisnya, prasyarat agar self-help jadi efektif ialah satu hal krusial yang tak ditawarkan oleh self-help: menerima diri sendiri sebagai orang yang bisa berbuat salah.
Mereka yang terpuruk, sebaliknya, memandang kesalahan atau keburukan mereka sebagai kutukan yang dapat dihilangkan melalui saran-saran orang lain. Namun, makin jauh mereka membaca, makin banyak keburukan yang dibenarkan. Mereka makin putus asa.
Inilah mengapa buku-buku self-help lebih berguna bagi mereka yang sedari awalnya sudah baik-baik saja. Misal, ketika saya cukup yakin tentang paras saya, lalu saya membaca sebuah buku mengenai cara merawat wajah, saya bakal bilang: "Oh, keren, aku bisa mencobanya."
Dalam konteks itu, saya tak tertekan untuk berhasil, sebab saya memang tak berharap sebesar itu. Pada dasarnya, saya sudah merasa percaya diri, jadi mengapa tidak untuk mencoba saran buku itu guna menambah kepercayaan diri saya. Jika gagal, saya tak peduli.
Ini adalah kebenaran yang menyedihkan bahwa orang-orang "bijak" memangsa mereka yang putus asa, menawari mereka bantuan dengan menagih sejumlah uang. Lantas mereka dijejali motivasi selama belasan jam, padahal tak ada kehidupan yang sesempurna itu.
2. Kebanyakan hanya mengemas ulang
Ketika saya memasuki toko buku atau melakukan pencarian di internet, buku-buku self-help lama masih kerap terlihat, seperti karangan Dale Carnegie dan Napoleon Hill, tapi saya juga menemukan generasi baru dari tema ini yang judulnya terasa begitu memikat.
Kemudian saya mencari ulasannya di internet, yang ternyata (nyaris) semua dari buku-buku itu hanya mengangkat tema lama dengan judul dan gaya bahasa yang kekinian. Mereka tak bisa dipersalahkan atas hal ini, tapi saya tak rela keluar uang untuk itu.
Meski kedengarannya menyegarkan, saya bertanya-tanya apakah itu merupakan kebenaran menyedihkan lainnya bahwa orang-orang "bijak" berusaha mengeruk untung dari populasi rentan yang sedang mencari bantuan.
Faktanya, orang akan selalu mencari informasi self-help. Jika Anda bisa menonjol dari yang lain, Anda bakal menjual banyak buku walau isinya bukan sesuatu yang baru. Ambil contoh buku self-help "generasi baru" terpopuler yang bersampul oranye (Anda tahu, kan).
Apa yang membuat buku ini begitu laris? Apakah karena isinya begitu orisinal? Orang boleh berpendapat tulisannya memukau, tapi keliru kalau mengatakannya orisinal. Para filsuf di zaman kuno sudah mengatakan hal-hal semacam itu. Lalu, apa lagi?
Kalau ada satu faktor utama yang membuat buku ini begitu laris, saya kira faktor itu adalah judulnya. Jarang ada buku self-help yang begitu menarik perhatian kita dengan judulnya. Tak perlu dikatakan lagi, para pelanggan berbondong-bondong untuk membelinya.