Dengan asumsi bahwa uang bisa membeli kebahagiaan saat dibelanjakan sesuai kepribadian individu, maka pembelian yang membuat satu orang bahagia mungkin tidak demikian untuk orang lain.
Jawaban saya, umpamanya, adalah buku dan gitar. Bagi seseorang yang tidak suka membaca buku dan bermain gitar (atau suka dan sudah memiliki gitar), jawabannya bakal beda; mungkin sepatu futsal atau sepeda gunung.
Memang, ada kekhawatiran yang muncul dari asumsi tersebut. Sebab, kalau pembelian barang yang disesuaikan dengan kepribadian seseorang bisa menimbulkan kebahagiaan, orang mungkin tanpa sadar merasionalisasikan atau membenarkan pemborosannya.
Saya pikir ini kembali pada ungkapan Mark Kinney yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa bagaimanapun kitalah tuan dari uang dan bukan sebaliknya. Secara pribadi, saya sepakat tentang pengalaman lebih berharga ketimbang barang. Saya merasakannya.
Tapi secara bersamaan, saya juga perlu membeli beberapa barang yang mendukung potensi saya, dan karenanya menciptakan kebahagiaan yang awet. Poinnya adalah, uang itu sendiri bukan masalahnya.
Uang itu tidak buruk atau baik. Uang tak punya kekuatan, selain kekuatan yang kita berikan padanya. Ini adalah tentang interpretasi kita soal uang, interaksi kita dengannya, di mana kita menemukan peluang dan ancaman nyata untuk penemuan diri dan transformasi pribadi.
Banyak orang telah menganjurkan strategi pengelolaan uang, tapi konsep transformasi pribadi masih asing di sana. Saya selalu merasa bahwa hubungan terbaik dengan uang adalah ketika saya mampu menyelaraskan uang saya dengan minat dan komitmen terdalam saya.
Uang seharusnya mengekspresikan nilai kita, bukan menentukannya. Apabila uang dikejar sebagai tujuan dan bukan sebagai syarat atau sarana untuk hal-hal baik lainnya, uang bakal mengunyah dan menghancurkan kemanusiaan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H