Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jika Uang Tak Membeli Kebahagiaan, Mungkin Anda Salah Membelanjakannya

9 Februari 2023   18:33 Diperbarui: 9 Februari 2023   22:26 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang bisa membeli kebahagiaan kalau kita membelanjakannya dengan benar | Ilustrasi oleh Robert Lens via Pixabay

Uang mempunyai makna. Sebagaimana mudah dilihat, kita semua memiliki aneka hubungan dengan uang. Kendati uang masih memfasilitasi pertukaran barang dan jasa, kini kekuatan yang kita berikan pada uang telah melampaui peran utilitarian aslinya.

Uang sering kali membentuk pengalaman hidup dan perasaan kita yang terdalam tentang diri kita sendiri, termasuk orang lain. Inilah mengapa uang adalah salah satu masalah utama bagi semua orang yang pernah saya kenal, tak peduli seberapa banyak uang mereka.

Secara umum, uang juga telah menjadi arena permainan di mana kita mengukur kompetensi dan nilai kita sebagai manusia. Asumsinya kira-kira begini, "Semakin banyak uang yang kita miliki, semakin sukses pula kita."

Bagaimanapun, kebanyakan dari kita bakal menolak asumsi itu dan menganggapnya sebagai tak adil. Dengan ukuran begitu, beberapa tokoh besar dalam sejarah, seperti Marx dan Nikola Tesla, tak bisa dianggap "sukses".

Namun, dalam banyak lamunan kita, sebenarnya kita senantiasa mengasosiasikan "kesuksesan" dan "kekayaan". Ditambah dengan dominasi kapitalisme, kita cemas kalau kita berhenti berjuang untuk lebih, entah bagaimana kita akan kehilangan segalanya.

Jika kita tak berada di depan orang lain secara finansial, atau paling tidak menyamainya, kita merasa tertinggal dan perlu mengejar ketertinggalan.

Permainan semacam itu kadang menyenangkan, tapi di lain waktu jadi  menakutkan. Dalam arena permainan uang, taruhannya selalu tinggi: jika kita bukan pemenang, maka kita adalah pecundang.

Demikianlah, uang sudah menjadi bagian dari kehidupan kontemporer yang paling memotivasi, nakal, ajaib, dan disalahpahami.

Sebagaimana ujar Mark Kinney: "Uang itu bak cincin besi yang kita pasang di hidung kita. Sekarang memimpin kita ke mana pun dia mau. Kita hanya lupa bahwa kitalah yang merancangnya."

Bisakah uang membeli kebahagiaan?

Pagi tadi saya mendengarkan lagu Jessie J berjudul "Price Tag". Sementara kepala sedikit bergoyang mengikuti irama, pikiran saya meresapi liriknya. Why is everybody so obsessed? Money can't buy us happiness. Bagian ini memikat saya.

Bisakah uang membeli kebahagiaan? Jawabannya tak segampang pertanyaannya. Kita bisa menjawabnya hanya dengan "iya" atau "tidak", atau mempertimbangkan jawaban lain yang lebih dari sekadar afirmasi atau negasi belaka.

Mari kita pertimbangkan jawaban-jawaban yang dicapai beberapa penelitian.

Ada semacam pepatah sinis di antara para ilmuwan, "Jika uang tidak membelikan Anda kebahagiaan, Anda membelanjakannya dengan cara yang salah." Dengan kata lain, uang bisa membeli kebahagiaan andaikan kita tahu cara membelanjakannya secara tepat.

Lantas, barang macam apa yang mestinya kita beli? Jawabannya bukan barang, melainkan pengalaman. Ini berarti, uang bisa meningkatkan kebahagiaan manakala kita memakainya untuk hal-hal yang memperbanyak pengalaman.

Kebahagiaan memang tak ada dalam sebuah rak yang bisa kita ambil semaunya, dan kita pun tak akan bisa membelinya di toko online. Kendati begitu, kita selalu menginginkan hal-hal tertentu dalam hidup kita, dan uang bisa membantu kita untuk mendapatkannya.

Dalam hal ini, sebagaimana kata psikolog finansial Brad Klontz, "pengalaman lebih berharga ketimbang barang". Membeli barang-barang, seperti ponsel dan sepatu baru (setiap bulan), dapat memberi kita kesenangan sesaat, tapi tidak untuk kebahagiaan jangka panjang.

Kesenangan sesaat sifatnya lebih pasti dan instan, sedangkan kepuasan dan kebahagiaan jangka panjang, sampai batas tertentu, bakal mengikat kita dalam ketidakpastian. Secara naluriah, kita cenderung memilih yang pertama, bahkan sering tak sadar ada opsi kedua.

Ketika kita membelanjakan uang kita untuk membeli pengalaman, kita membentuk suatu kenangan tentangnya, yang berulang kali bakal kita ceritakan kepada teman atau kerabat, dan itu menimbulkan rasa puas yang tidak termakan oleh waktu.

Alasannya sederhana: cerita tak pernah usang sehingga kita dapat membagikannya (atau sebatas mengingatnya) begitu sering dengan perasaan yang nyaris serupa seperti pertama kali kita mengisahkannya. Kenangan menetap sepanjang hidup kita.

Saya ingat berlibur ke pantai dua tahun lalu, dan saya ingat kegembiraan yang kala itu saya rasakan: terangnya matahari, lembutnya pasir, dinginnya air laut. Atau webinar berbayar yang saya hadiri beberapa minggu lalu; saya belajar banyak dari sana.

Saya juga punya cara lain untuk membelanjakan uang saya.

Sebagai seorang mahasiswa yang dibebani banyak biaya, saya memperoleh sejumlah uang lewat menulis. Tapi, saya tak suka menulis untuk memperoleh uang. Saya ingin mengerjakan sebuah karya serius, berjangka panjang, yang tak bisa berorientasi pada uang.

Apa yang saya lakukan adalah, saya bakal berusaha memperoleh uang sampai batas tertentu untuk memungkinkan saya merasa aman dan terpenuhi. Jika sudah, saya bakal memakai uang saya untuk membeli waktu luang. Uang membantu saya "membeli" kebebasan.

Orang boleh saja membelanjakan uangnya untuk kursus piano atau tari balet atau liburan ke Paris. Menurut poin pertama kita, sejauh kita membeli pengalaman ketimbang barang, besar kemungkinan kita akan merasa bahagia.

Tapi poin itu juga mengisyaratkan pesan lainnya: kita harus tahu batas dalam pengejaran kita akan uang. Jika kita memakai seluruh waktu kita untuk mencari uang, kita tak akan pernah bisa membeli pengalaman, sebab pengalaman mengharuskan waktu luang.

Saya sering mengingatkan diri saya, "Tentu aku tak punya cukup uang, dan memang tak akan pernah."

Tatkala keinginan material lebih besar, pencapaiannya akan membutuhkan sumber keuangan yang lebih besar, dan situasi keuangan yang dirasakan bakal lebih buruk pada tingkat sumber daya tertentu (Johnson & Krueger, 2006).

Akibatnya, kita akan selalu merasakan kesenjangan yang terlampau jauh antara keinginan dan kemampuan kita untuk mencapainya.

Akan tetapi, bukan berarti membeli barang adalah salah. Studi lainnya berkesimpulan bahwa, dalam sudut pandang individu, uang bisa meningkatkan kepuasan hidup kalau pembelian disesuaikan dengan kepribadian atau karakter psikologis (Matz dkk., 2016).

Seseorang yang hobinya mendaki gunung dan mudah berbaur dengan orang lain barangkali akan berpendapat bahwa pengalaman lebih berharga daripada barang. Namun, bagi seorang introvert, kebahagiaannya mungkin adalah membeli buku baru ketimbang mendaki gunung.

Secara umum, intinya kita harus memastikan apakah pembelian kita dimaksudkan untuk membawa kita ke kesehatan dan kesejahteraan kita, atau sekadar terbawa tren dan gengsi sosial. Jika kita ada di opsi pertama, pengalaman ataupun barang bukanlah persoalan besar.

Terlebih, sebelum memutuskan untuk membelanjakan uang kita, sebaiknya kita menimbang-nimbang dulu tentang simpanan yang kita perlukan agar merasa aman. Percuma kita membeli pengalaman yang begitu berharga, tapi pengorbanannya adalah semua uang kita.

Dengan asumsi bahwa uang bisa membeli kebahagiaan saat dibelanjakan sesuai kepribadian individu, maka pembelian yang membuat satu orang bahagia mungkin tidak demikian untuk orang lain.

Jawaban saya, umpamanya, adalah buku dan gitar. Bagi seseorang yang tidak suka membaca buku dan bermain gitar (atau suka dan sudah memiliki gitar), jawabannya bakal beda; mungkin sepatu futsal atau sepeda gunung.

Memang, ada kekhawatiran yang muncul dari asumsi tersebut. Sebab, kalau pembelian barang yang disesuaikan dengan kepribadian seseorang bisa menimbulkan kebahagiaan, orang mungkin tanpa sadar merasionalisasikan atau membenarkan pemborosannya.

Saya pikir ini kembali pada ungkapan Mark Kinney yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa bagaimanapun kitalah tuan dari uang dan bukan sebaliknya. Secara pribadi, saya sepakat tentang pengalaman lebih berharga ketimbang barang. Saya merasakannya.

Tapi secara bersamaan, saya juga perlu membeli beberapa barang yang mendukung potensi saya, dan karenanya menciptakan kebahagiaan yang awet. Poinnya adalah, uang itu sendiri bukan masalahnya.

Uang itu tidak buruk atau baik. Uang tak punya kekuatan, selain kekuatan yang kita berikan padanya. Ini adalah tentang interpretasi kita soal uang, interaksi kita dengannya, di mana kita menemukan peluang dan ancaman nyata untuk penemuan diri dan transformasi pribadi.

Banyak orang telah menganjurkan strategi pengelolaan uang, tapi konsep transformasi pribadi masih asing di sana. Saya selalu merasa bahwa hubungan terbaik dengan uang adalah ketika saya mampu menyelaraskan uang saya dengan minat dan komitmen terdalam saya.

Uang seharusnya mengekspresikan nilai kita, bukan menentukannya. Apabila uang dikejar sebagai tujuan dan bukan sebagai syarat atau sarana untuk hal-hal baik lainnya, uang bakal mengunyah dan menghancurkan kemanusiaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun