Tujuan kaum maximizer adalah untuk mendapatkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Tapi bagaimana mereka tahu apa yang terbaik? Membandingkan. Peliknya, membandingkan keputusan sendiri dengan keputusan orang lain sering mengaburkan proses berpikir.
Jadi, begitu orang mulai membandingkan satu sama lain, apa yang dimilikinya tak pernah "cukup baik". Mereka punya ekspektasi yang tak bisa dipenuhi. Mereka mengkhawatirkan penyesalan, peluang yang lenyap, dan perbandingan sosial.
Tipe kedua, satisficer, berperilaku sangat kontras: mereka berhenti mencari setelah kriteria yang ditetapkannya telah terpenuhi. Tujuan akhir mereka bukanlah memaksimalkan utilitas atau keuntungan, melainkan untuk memenuhi permintaannya.
Oleh sebab itu, mereka puas terhadap sesuatu yang "cukup baik" dan merasa pasti dengan itu. Mereka belajar menerima "cukup baik". Demikianlah, mereka menyederhanakan pengambilan keputusan dan meningkatkan kepuasan.
Meski satisficer mungkin melakukan hal yang kurang baik daripada maximizer menurut standar tertentu, tapi dengan menerima "cukup baik" bahkan ketika yang "terbaik" mungkin sudah dekat, satisficer biasanya tetap merasa lebih baik tentang keputusannya sendiri.
Evaluasi pengalaman kita secara substansial dipengaruhi oleh perbandingannya dengan ekspektasi. Jadi, rute yang paling mudah untuk meningkatkan kepuasan atas hasil keputusan adalah dengan menghilangkan ekspektasi yang terlalu tinggi terhadapnya.
Kita bisa melakukan ini dengan mengurangi jumlah opsi yang kita pertimbangkan, dan, sekali lagi, dengan menjadi satisficer, bukan maximizer. Walau sulit diterapkan, saya percaya hidup bisa jauh lebih sederhana dengan keputusan yang lebih ramping dan koheren.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI