Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Paradoks Pilihan: Melakukan Lebih Baik tapi Merasa Lebih Buruk

10 Desember 2022   09:19 Diperbarui: 12 Desember 2022   21:08 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atau singkatnya, lebih banyak pilihan tak berarti itu lebih baik. Orang bisa saja memilih opsi yang lebih baik daripada sebelumnya dengan kesan yang lebih buruk, sebab mereka merasa belum meraih opsi yang terbaik.

Padahal, mungkin saja mereka sudah mendapatkan yang terbaik sejak pilihan pertama. Dalam hal ini, secara ekstremnya, mereka belum akan merasa puas sampai semua opsi diketahui atau dikonsumsi olehnya.

Contoh paradoks pilihan

Iyengar dan Lepper (2000) melakukan percobaan di mana mereka mengatur dua pajangan dari enam dan duapuluh empat jenis selai. Di supermarket itu, masing-masing rak pajangan diputar setiap jam untuk mengamati perilaku pelanggan.

Dari 242 orang yang melewati pajangan, 40% mengunjungi rak dengan enam jenis selai, dan 60% pergi ke rak yang berisi 24 jenis selai. Namun, dari pelanggan yang pergi ke rak dengan enam jenis selai, 30% di antaranya benar-benar membeli sejumlah selai.

Menariknya, mereka yang pergi ke rak dengan 24 jenis selai tak lebih dari 3% yang benar-benar melakukan pembelian.

Kesimpulan Iyengar dan Lepper patut diberi perhatian: "Memiliki pilihan yang tak terbatas, dengan demikian, bisa menjadikan orang lebih tak puas dengan pilihan yang mereka buat." Pilihan yang berlebihan cenderung membuat orang untuk tak membeli apa pun.

Pertimbangkan penggambaran Bill Watterson (1996) tentang seorang pembelanja makanan yang sangat jengkel:

"Lihat selai kacang ini! Ada tiga ukuran dari lima merek dengan empat konsistensi! Siapa yang menuntut rupa-rupa pilihan ini? Saya tahu! Saya akan berhenti dari pekerjaan saya dan mengabdikan hidup saya untuk memilih selai kacang!"

Paradoks pilihan, cukup mengejutkan, juga berpengaruh dalam peristiwa politik elektoral. Secara teoretis, ketika jumlah kandidat yang mencalonkan diri meningkat, utilitas warga negara dari pemungutan suara juga meningkat.

Dengan lebih banyak kandidat, pemilih cenderung punya kandidat yang mendekati poin ideal mereka.

Namun secara praktis, sebagaimana temuan Saul Cunow dkk. (2021), lebih banyak kandidat juga berarti beban kognitif yang lebih tinggi bagi pemilih, sebab mereka harus belajar lebih banyak selama kampanye untuk menemukan kandidat "ideal" mereka.

Apa yang dapat kita pelajari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun