Cara agar tenang menghadapi kengerian yang (nyaris) absolut itu adalah dengan membuatnya akrab, menerima bahwa pada dasarnya kita semua fana. "Bersiaplah untuk kematian; orang yang mengingatkan hal ini juga meminta kita untuk mempersiapkan kebebasan."
Lanjut Seneca, "Orang yang belajar cara untuk mati telah melupakan cara untuk menjadi budak." Ini karena ketika kita mengelak dari maut, setiap kesenangan lainnya dipadamkan. Menerima kefanaan diri kita sendiri, paradoksnya, berarti mengakui kebebasan kita sendiri.
"Mari kita hilangkan keanehannya, kenali, biasakan," ujar filsuf lainnya yang lebih modern, Michel de Montaigne. "Janganlah kita memikirkan apa pun sesering kematian. Setiap saat, mari kita bayangkan dalam imajinasi kita dengan segala aspeknya."
Baik Seneca maupun Montaigne sama-sama mengingatkan kita bahwa kematian bisa datang kapan saja. Penulis drama Yunani Aeschylus diduga terbunuh oleh cangkang kura-kura yang dijatuhkan oleh elang. Kita harus selalu mawas dan siap untuk pergi.
Kematian bukanlah sesuatu yang kita kuasai, seperti catur atau ukulele. Ini bukanlah suatu keterampilan. Mungkin mempersiapkannya adalah sebentuk keterampilan, tapi kematian itu sendiri adalah orientasi. Kematian bukanlah cacat dari kehidupan, melainkan hasil alamiah darinya.
Oleh sebab itu, kita sebaiknya mulai mendekati kematian secara perlahan bukan sebagai malapetaka, tapi sebagai sesuatu yang indah dan niscaya, seperti daun musim gugur yang jatuh dari pohon di bulan November.
Memaknai kematian, memaknai kehidupan
Prospek kematian secara menakjubkan memusatkan pikiran. Sebagaimana diutarakan Ernest Becker dalam bukunya yang terkemuka The Denial of Death (1973), "(maut) adalah sumber utama aktivitas manusia."
Entah kita menerima atau menyangkal prospek kematian, intinya tetaplah sama: alur hidup kita sering ditentukan olehnya. Jika orang menerima, atau menolak, kefanaannya, mereka akan bertindak sesuai keyakinan itu.
Antropolog terkenal A. M. Hocart pernah berpendapat bahwa orang-orang primitif tak begitu diganggu oleh rasa takut akan kematian. Bahkan, lebih sering daripada tidak, mereka gembira dan merayakan prospek kematian mereka sendiri.
Supaya adil, perlu disebutkan bahwa mereka berbuat begitu karena mereka percaya kematian adalah promosi terakhir, ritual pamungkas sebelum diangkat menuju kehidupan yang lebih tinggi, menuju kenikmatan abadi dalam berbagai bentuk.
Sebagian besar manusia hari ini, terlepas dari peran yang diberikan agama, tampaknya cukup kesulitan untuk meyakini betul-betul hal semacam itu (lagi), yang akhirnya membuat ketakutan akan maut begitu kentara sebagai bagian dari susunan psikologis kita.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!