Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pentingnya Meluangkan Waktu untuk Refleksi Diri

22 November 2022   19:38 Diperbarui: 23 November 2022   00:06 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikianlah, menurut Adam Smith, sesama manusialah yang mengajari kita nilai tindakan diri kita sendiri, yang merupakan "cermin" yang mengarahkan perhatian kita pada makna tindakan diri kita sendiri.

Kita menginternalisasi atau menyerap perspektif orang lain terhadap diri sendiri, lalu melakukan dialog internal antara perspektif yang terserap.

Tanpa ada sesuatu yang terserap, menurut perspektif ini, refleksi diri hanyalah kekosongan. Tumbuh dewasa sendiri, terlepas dari semua orang, tanpa "cermin" itu, tak ada yang bisa membuat seseorang merenungkan dirinya sendiri.

Mengapa harus refleksi diri?

Terlepas dari banyak sebab, orang biasanya enggan melakukan refleksi diri karena mereka merasa tak mengerti dan/atau tak suka prosesnya. Sementara persoalan pertama tampak lebih mudah dijawab, persoalan kedua mungkin tak akan mempan dengan jawaban belaka.

Persoalan pertama, bahwa orang tak mengerti dengan proses refleksi diri, bisa dijawab melalui pengalaman mereka sendiri. Seperti yang sudah disinggung, orang sebenarnya senantiasa melakukan refleksi diri; hanya saja, mereka tak menyadari itu sebagai proses refleksi diri.

Jika mereka diingatkan dan dibuat sadar tentang proses itu, bahwa suatu ketika mereka juga melakukannya, bahwa mungkin setiap waktu mereka mengalaminya, mereka akan mudah mengerti. Dalam konteks ini, mereka tinggal mengorganisir diri saat pengalaman itu terulang.

Persoalan kedua lebih sukar: orang sering mengira proses refleksi diri itu menyakitkan dan memperlambat. Mereka tak tahan untuk mendaopsi pola pikir "ketidaktahuan" dan sekaligus "keingintahuan", menoleransi kekacauan, serta memikul tanggung jawab pribadi.

Saya menyebutnya sukar karena itu melibatkan perasaan seseorang. Dan dalam banyak kasus, perasaan tak bisa ditawar-tawar oleh argumen. Seseorang yang benci sayur, tak peduli alasan apa pun yang kita kemukakan, mereka (biasanya) tetap tak menyukainya.

Seseorang yang suka merokok, tak peduli seberapa seringnya kita memberitahu itu berbahaya (dan bahkan produsen rokok sendiri sudah memperingatkannya), mereka tetap merokok. 

Ada istilah begini, "Ketika saya membaca bahwa rokok itu mematikan, saya berhenti membaca."

Tapi, terus terang, saya tak peduli. Saya hanya akan pergi jika sudah meninggalkan argumen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun