Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Aktivisme Intelektual: Menjembatani Keterpisahan Akademi dan Jalanan

29 Oktober 2022   12:55 Diperbarui: 31 Oktober 2022   10:45 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi rasanya sudah mencapai titik jenuh sehingga kita memerlukan sebentuk aktivisme baru | Ilustrasi oleh Wiki Images via Pixabay

Hak untuk protes menempati posisi istimewa dalam demokrasi. Di luar itu, terutama dalam pusaran otoritarianisme, protes sering berarti kematian. Dengan meluasnya penerapan demokrasi, protes justru sering menjadi penyelamat demos: ia membuat perubahan terjadi.

Protes bukan sebatas sarana untuk mengekspresikan ketidakpuasan, tetapi terutama bertindak sebagai cara bagi mayoritas orang untuk belajar tentang isu-isu yang penting bagi kehidupan komunal dan mulai peduli pada apa yang perlu diubah.

Indonesia sendiri, secara historis, rasanya berutang banyak pada gerakan-gerakan protes sipil, terutama sejumlah demonstrasi yang diampu mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa memang kerap ditempatkan pada posisi fundamental di beberapa episode perubahan sosial-politik.

Orang boleh saja menyebutkannya satu per satu, tapi itu tak akan pasti; sebagian (besar) tak terekspos, sebagian lainnya menunggu untuk diekspos.

Pada intinya, berkat DNA seperti itu, mahasiswa secara intuitif sering merasa terpanggil oleh keluhan dan pekik para wong cilik atas ketidakadilan kekuasaan. Di sini, sebagaimana banyak kasus lainnya, demonstrasi adalah Robin Hood.

Jika kita menilik kembali periode pasca-kemerdekaan dan pengujung Orba, perjuangan fisik berupa turun ke jalanan adalah sesuatu yang (sering kali) sangat masuk akal. Pada dasarnya, situasi saat itu memang menuntut kaum muda untuk begitu.

Namun, seiring perubahan zaman yang sulit dijelaskan dalam seikat kata, demonstrasi terasa kehilangan relevansinya. Barangkali ini karena kita hidup dalam milieu yang jauh berbeda dari periode di mana aktivisme jalanan begitu penting dan andal.

Dalam masa-masa yang relatif damai dan tenang ini, tanpa menegasikan beberapa guncangan di sana-sini, jalan advokasi melalui demonstrasi rasanya sudah mencapai titik jenuh. Kalaulah kita mau menghitung energi dan biaya yang dikerahkan untuk itu, hasilnya kerap tak sepadan.

Saya, sebagai bagian dari mahasiswa itu sendiri, tak mencela demonstrasi, terutama bilamana kondisinya sudah sangat mendesak dan tak ada cara lain lagi. Malah, sekali lagi, itu adalah bagian dari demokrasi; orang berhak mengekspresikan ketidakpuasan, menuntut perubahan.

Tetapi, kendati mahasiswa tetap bersedia turun ke jalan setiap kali diperlukan, dan tampaknya memang begitu, efektivitasnya sering mengambang. Entah caranya yang problematis atau pihak otoritasnya terlalu abai, semua itu kiranya sudah cukup menjadi bukti betapa kita memerlukan sebentuk aktivisme baru.

Atas dasar itu, sekaligus menjawab penurunan partisipasi politik kaum muda, saya cenderung menawarkan apa yang oleh Patricia Hill Collins (2013) sebut sebagai "aktivisme intelektual".

Makna Intelektual

"Intelektual" biasanya merujuk pada kategori profesi, yaitu orang-orang yang pekerjaannya berkaitan dengan ide/gagasan: penulis, akademisi, dan sejenisnya. Output atau produk akhir dari seorang intelektual, karenanya, adalah serangkaian ide/gagasan.

Produk akhir Jonas Salk adalah vaksin, seperti halnya produk akhir Bill Gates adalah sistem operasi komputer. Terlepas dari keluasan wawasan dan bakat yang terlibat dalam pencapaian keduanya, mereka bukanlah intelektual.

Karya intelektual dimulai dan diakhiri dengan gagasan, betapapun berpengaruhnya gagasan itu pada hal-hal konkret (di tangan orang lain). Pengertian ini, tak diragukan lagi, terbungkus dalam arena eksklusif.

Dalam kaitannya dengan aktivisme intelektual, saya tak mengartikannya sesempit itu. Ketika saya bilang "saya mencintai dunia intelektual", kata "intelektual" lebih saya maknai sebagai semesta ide dan gagasan.

Jadi, selama seseorang punya keinginan kuat untuk belajar, semangat mencari hal-hal yang belum disajikan kepadanya, haus atau lapar akan perbaikan diri, dan melarikan diri dari suatu tempat menuju ruang yang lebih baik, maka boleh saja dia disebut "(ber)intelektual".

Ringkas kata, saya menitikberatkan fokus intelektual pada gagasan/ide.

Antara Akademi dan Jalanan

Aktivisme intelektual, dengan begitu, berupaya menghubungkan apa yang selama ini tampak kontradiktif: antara akademi dan jalanan, antara cendekiawan dan gerakan. Dalam pengertian ini, proyek intelektual dikontekstualisasikan menjadi politik oposisi.

Tulisan dan percakapan akademis dibingkai ulang untuk mengatasi realitas mendesak saat ini, seperti penindasan dan ketidaksetaraan.

Kajian-kajian akademik, yang prosesnya menguras banyak waktu dan tenaga, tak akan lagi dibiarkan membangkai di rak-rak buku berdebu atau arsip-arsip digital; semuanya diperiksa dan ditelaah ulang untuk diberdayakan (kembali) sesuai konteks yang ada.

Produksi pengetahuan, karenanya, ada di dalam relasi kekuasaan yang dominan dari sejarah dan masyarakat, serta dalam gerakan perlawanan. Ini dikatalisasi oleh pemutusan kontinuitas dan stabilitas, perubahan yang disruptif dan kadang-kadang kekerasan yang harus dipahami.

Pengetahuan dan kekuasaan, sebagaimana konsepsi Michel Foucault, bermain di banyak tingkatan struktural, institusional, sosial, kultural, dan interpersonal. Sementara kekuasaan dan pengetahuan hegemonik sifatnya menindas dan merampas, kekuasaan dan pengetahuan oposisi adalah inti dari aktivisme intelektual, perjuangan sosial.

Proyek aktivis intelektual harus berbicara kebenaran kepada kekuasaan hegemonik dan, pada saat yang sama, mengatakan kebenaran kepada rakyat, berdiri dalam kesatuan dengan realitas dan praksis perubahan sosial mereka.

Aktivisme intelektual ini penting karena hari ini, mengingat perguruan tinggi tampak semakin korporat dan media arus utama semakin monopolistik, kita menghadapi politik inklusi dan eksklusi yang kontradiktif.

Beberapa kelompok yang sebelumnya dikecualikan mulai menempati posisi kekuasaan dalam lembaga-lembaga sosial yang pernah memarginalkan mereka. Berbarengan dengan itu, terlalu banyak orang tetap dikecualikan.

Selain itu, dalam upaya mengawal konsolidasi demokrasi, kaum intelektual (yang dalam hal ini juga merujuk pada mahasiswa) sering meremehkan rupa-rupa hal yang "populer" sebagai kurang ilmiah.

Mereka melihat pekerjaan "politis" seperti demonstrasi sebagai pekerjaan non-akademis. Di sini mereka memenjarakan dirinya sendiri di pucuk menara gading, seolah mampu membaca seluruh keadaan dengan memerhatikannya dari sana.

Tetapi, cara seperti itu melenyapkan rasa empati sosial. Penerimaan hanya pada hal-hal yang berbau saintifik ujung-ujungnya jadi useless. Norma-norma semacam itu menekan jenis intelektual yang menarik minat saya dan yang menjadi dasar bagi aktivisme intelektual.

Kendati begitu, seperti diutarakan Patricia Collins (2013): "Karena gagasan dan politik ada di mana-mana, maka potensi aktivisme intelektual juga ada di mana-mana."

Tentu aktivisme intelektual bukanlah tugas yang mudah, terutama bagi kaum intelektual muda seperti mahasiswa. Agaknya tak terlalu sulit untuk menulis artikel jurnal, esai, atau bahkan buku ketika didesak oleh dosen; tapi menulis untuk tujuan perubahan sosial adalah perkara lain.

Dalam masyarakat demokratis yang heterogen seperti kita, menemukan cara untuk berbagi ide-ide esensial dengan berbagai kelompok lain adalah penting. 

Kita mesti membuat ide-ide utama dari karya intelektual dapat diakses oleh khalayak luas, baik di dalam maupun di luar kampus, menggabungkan kekakuan akademis dengan aksesibilitas.

Demikianlah, aktivisme intelektual adalah pekerjaan kolektif; individu saja tak akan pernah berhasil, atau setidaknya tak akan pernah meluas. Analisis intelektual tentang isu-isu sosial terkini mesti diperkuat dalam dialog-dialog.

Singkat kata, analisis itu harus berbicara dengan khalayak, bukan berbicara kepada mereka.

Pada akhirnya, fakta bahwa relevansi aktivisme jalanan sudah tak sekuat dulu lagi, kita, atau khususnya mahasiswa, dituntut untuk mencari alternatif agar advokasi dan aspirasi rakyat, yang merupakan fondasi demokrasi, dapat tersampaikan secara lebih efektif.

Aktivisme intelektual, selaku bentuk perjuangan sosial alternatif, sudah sepatutnya diperlakukan sebagaimana adanya; bahwa ini adalah suatu alternatif, maka aktivisme jalanan bukan berarti mesti dilenyapkan sama sekali.

Justru, antara aktivisme jalanan dan aktivisme intelektual, saya memandang keduanya seperti sepasang sayap dari burung yang sama; ini hanya soal sayap mana yang harus lebih sering dikepakkan sesuai konteks situasi.

Lagi pula, saya juga mengerti bahwa aktivisme intelektual bukanlah sebuah aktivitas sejuta umat. Poin utama saya adalah, saya tak berpikir kaum intelektual (muda) mesti mengisolasikan dirinya di atas menara gading.

Sebaliknya, pemikiran kritis harus bertanggung jawab atas keadaan sosial yang nyata-nyata ada di hadapannya.

Aktivisme intelektual hendak menjembatani kedua posisi itu: seorang intelektual tak hanya berhenti pada pengamatan, tapi terutama mentransformasikan gagasannya jadi praktis (dan mudah-mudahan, emansipatoris).

Dengan begitu, anggapan bahwa "ilmu pengetahuan sudah tak berdaya lagi di dunia yang semakin praktis dan instan" bisa dipatahkan sepenuhnya, kemudian kita tunjukkan kebenaran yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun