Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Aktivisme Intelektual: Menjembatani Keterpisahan Akademi dan Jalanan

29 Oktober 2022   12:55 Diperbarui: 31 Oktober 2022   10:45 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi rasanya sudah mencapai titik jenuh sehingga kita memerlukan sebentuk aktivisme baru | Ilustrasi oleh Wiki Images via Pixabay

Pengetahuan dan kekuasaan, sebagaimana konsepsi Michel Foucault, bermain di banyak tingkatan struktural, institusional, sosial, kultural, dan interpersonal. Sementara kekuasaan dan pengetahuan hegemonik sifatnya menindas dan merampas, kekuasaan dan pengetahuan oposisi adalah inti dari aktivisme intelektual, perjuangan sosial.

Proyek aktivis intelektual harus berbicara kebenaran kepada kekuasaan hegemonik dan, pada saat yang sama, mengatakan kebenaran kepada rakyat, berdiri dalam kesatuan dengan realitas dan praksis perubahan sosial mereka.

Aktivisme intelektual ini penting karena hari ini, mengingat perguruan tinggi tampak semakin korporat dan media arus utama semakin monopolistik, kita menghadapi politik inklusi dan eksklusi yang kontradiktif.

Beberapa kelompok yang sebelumnya dikecualikan mulai menempati posisi kekuasaan dalam lembaga-lembaga sosial yang pernah memarginalkan mereka. Berbarengan dengan itu, terlalu banyak orang tetap dikecualikan.

Selain itu, dalam upaya mengawal konsolidasi demokrasi, kaum intelektual (yang dalam hal ini juga merujuk pada mahasiswa) sering meremehkan rupa-rupa hal yang "populer" sebagai kurang ilmiah.

Mereka melihat pekerjaan "politis" seperti demonstrasi sebagai pekerjaan non-akademis. Di sini mereka memenjarakan dirinya sendiri di pucuk menara gading, seolah mampu membaca seluruh keadaan dengan memerhatikannya dari sana.

Tetapi, cara seperti itu melenyapkan rasa empati sosial. Penerimaan hanya pada hal-hal yang berbau saintifik ujung-ujungnya jadi useless. Norma-norma semacam itu menekan jenis intelektual yang menarik minat saya dan yang menjadi dasar bagi aktivisme intelektual.

Kendati begitu, seperti diutarakan Patricia Collins (2013): "Karena gagasan dan politik ada di mana-mana, maka potensi aktivisme intelektual juga ada di mana-mana."

Tentu aktivisme intelektual bukanlah tugas yang mudah, terutama bagi kaum intelektual muda seperti mahasiswa. Agaknya tak terlalu sulit untuk menulis artikel jurnal, esai, atau bahkan buku ketika didesak oleh dosen; tapi menulis untuk tujuan perubahan sosial adalah perkara lain.

Dalam masyarakat demokratis yang heterogen seperti kita, menemukan cara untuk berbagi ide-ide esensial dengan berbagai kelompok lain adalah penting. 

Kita mesti membuat ide-ide utama dari karya intelektual dapat diakses oleh khalayak luas, baik di dalam maupun di luar kampus, menggabungkan kekakuan akademis dengan aksesibilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun