Demikianlah, aktivisme intelektual adalah pekerjaan kolektif; individu saja tak akan pernah berhasil, atau setidaknya tak akan pernah meluas. Analisis intelektual tentang isu-isu sosial terkini mesti diperkuat dalam dialog-dialog.
Singkat kata, analisis itu harus berbicara dengan khalayak, bukan berbicara kepada mereka.
Pada akhirnya, fakta bahwa relevansi aktivisme jalanan sudah tak sekuat dulu lagi, kita, atau khususnya mahasiswa, dituntut untuk mencari alternatif agar advokasi dan aspirasi rakyat, yang merupakan fondasi demokrasi, dapat tersampaikan secara lebih efektif.
Aktivisme intelektual, selaku bentuk perjuangan sosial alternatif, sudah sepatutnya diperlakukan sebagaimana adanya; bahwa ini adalah suatu alternatif, maka aktivisme jalanan bukan berarti mesti dilenyapkan sama sekali.
Justru, antara aktivisme jalanan dan aktivisme intelektual, saya memandang keduanya seperti sepasang sayap dari burung yang sama; ini hanya soal sayap mana yang harus lebih sering dikepakkan sesuai konteks situasi.
Lagi pula, saya juga mengerti bahwa aktivisme intelektual bukanlah sebuah aktivitas sejuta umat. Poin utama saya adalah, saya tak berpikir kaum intelektual (muda) mesti mengisolasikan dirinya di atas menara gading.
Sebaliknya, pemikiran kritis harus bertanggung jawab atas keadaan sosial yang nyata-nyata ada di hadapannya.
Aktivisme intelektual hendak menjembatani kedua posisi itu: seorang intelektual tak hanya berhenti pada pengamatan, tapi terutama mentransformasikan gagasannya jadi praktis (dan mudah-mudahan, emansipatoris).
Dengan begitu, anggapan bahwa "ilmu pengetahuan sudah tak berdaya lagi di dunia yang semakin praktis dan instan" bisa dipatahkan sepenuhnya, kemudian kita tunjukkan kebenaran yang sesungguhnya.