Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Action Bias, Ketika Tindakan Hanya Sebatas Formalitas

8 Agustus 2022   18:02 Diperbarui: 8 Agustus 2022   18:11 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keengganan kiper untuk diam di tengah saat penalti merupakan contoh action bias | Gambar oleh Khaled Elfiqi via Beritagar.id

Ada sebuah pepatah Cina kuno yang berbunyi, "Tindakan akan menghapus keraguan yang tidak dapat diselesaikan oleh teori." Kendati begitu, sebagaimana ungkapan bijak lainnya selalu punya pengecualian, beberapa bentuk tindakan sama sekali tidak membantu.

Tindakan yang dimaksud tidak hanya merujuk pada hasil yang sia-sia; itu sudah jelas dengan sendirinya. Apa yang saya bicarakan adalah tindakan yang sedari awalnya sudah disadari akan sia-sia, atau setidaknya besar kemungkinan akan sia-sia, tapi toh tetap dilakukan juga.

Para psikolog biasanya menyebut itu dengan istilah "action bias", sebentuk sesat pikir yang mendorong orang untuk bertindak tanpa memedulikan hasil akhirnya. 

Dengan kata lain, mereka terlihat aktif, meskipun percuma; mereka bertindak, namun sebatas formalitas.

Saya mengerti bahwa "bertindak tanpa memedulikan hasil akhirnya" adalah pernyataan yang cukup ambigu. Jika orang berbuat begitu, terutama dalam situasi yang sepenuhnya di luar kendali, apa yang salah dengan mereka? Mengapa disebut "sesat pikir (cognitive bias)"?

Peneliti Michael Bar-Eli dan koleganya melakukan sebuah studi menarik yang mengevaluasi 286 tendangan penalti di liga dan kejuaraan teratas di seluruh dunia (Bar-Eli dkk., 2007). Mereka memperkirakan bahwa bola membutuhkan waktu kurang dari 0,3 detik dari pemain yang menendang penalti ke gawang.

Dengan waktu yang sedemikian singkat itu, tidak ada cukup waktu bagi kiper untuk melihat lintasan bola. Karenanya, dia harus membuat keputusan sebelum bola ditendang. Jika ditilik sepintas, tentu tidak sulit untuk mengatakan bahwa bola mungkin bergerak ke arah kanan, kiri, atau tengah.

Bahkan jika turut menimbang distribusi probabilitas arah tendangan, strategi optimal untuk kiper adalah tetap berada di pusat gawang. Walaupun begitu, dan kiranya sudah diketahui secara umum, kiper hampir selalu melompat ke kanan atau ke kiri.

Pastinya sang kiper sendiri tahu bahwa ada kemungkinan bola untuk melesat ke pusat gawang, tetapi mengapa dia bersikeras melompat?

Para peneliti menyimpulkan: Saat kiper mengalami kebobolan, dia menghasilkan perasaan yang lebih buruk bila tidak bertindak (tetap di tengah) daripada bertindak (melompat ke kanan atau ke kiri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun