Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Hidup Bahagia dalam Absurditas: Menafsir "Mitos Sisifus" Albert Camus

4 Agustus 2022   11:35 Diperbarui: 4 Agustus 2022   12:04 3117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan buku Mitos Sisifus versi bahasa Indonesia terbitan Penerbit Circa | Dokumentasi pribadi

Le Mythe de Sisyphe (terj. Mitos Sisifus) bisa dibilang merupakan sebentuk orasi puitis, pernyataan pribadi yang ditulis oleh seorang pemuda yang tinggal di pengasingan sempit di Paris selama hari-hari awal paling suram dari Perang Dunia Kedua.

Pemuda ini, Albert Camus, menawarkan keterusterangan yang rentan dari sedikit hal yang telah dipelajarinya: "Saya tidak tahu apakah dunia ini punya satu makna yang melampauinya. Namun, saya tahu bahwa saya tidak tahu makna itu dan bahwa mustahil bagi saya sekarang untuk mengetahuinya."

Berhadapan dengan kerentanan ini, mengingat sejumlah kritikus seperti Jean-Paul Sartre telah meremehkan Mitos Sisifus, kita sebaiknya tidak menandai Camus seolah-olah dia sedang menjalani ujian metafisik, tetapi menilai esainya sebagai sebuah karya seni.

(Bahkan Camus sendiri tidak mau dirinya disebut sebagai filsuf, melainkan seniman.)

Oleh sebab itu, kita seyogianya menilai Mitos Sisifus melalui martabat argumentasinya dan keindahan usahanya, bukan melalui keagungan buktinya dan konklusivitas pencapaiannya. Dengan begitulah, ditambah kemahiran lirisisme Camus, Mitos Sisifus dapat dilihat sebagai sebuah karya yang indah dan mengesankan.

Kiranya itu pula yang menjadi alasan mengapa saya memerlukan waktu dua minggu lebih untuk selesai membacanya, meskipun hanya berkisar 150 halaman. Selain ingin berhati-hati dalam memahami teks, saya juga terpana dan terpesona oleh gaya bertutur Camus yang liris.

Sebagaimana Camus sendiri katakan dalam bagian Pengantar (lima belas tahun setelah Mitos Sisifus selesai ditulis): "... lebih dari buku-buku saya yang lain, buku ini (Mitos Sisifus) membutuhkan kesabaran dan pemahaman para pembacanya."

Artikel ini hendak menafsirkan apa yang ingin dikatakan Camus kepada kita lewat buku (atau lebih tepatnya esai filsafat) itu.

Pertama-tama saya akan mengungkap topik mendasar esai itu, dilanjut dengan sepintas penjabaran dan komentar mengapa Camus menganggap hidup ini absurd, lalu seperti apa macam-macam sikap manusia di hadapan absurditas tersebut, dan pada akhirnya bagaimana sikap ideal Camus sendiri dalam menghadapi dunia yang demikian.

Absurditas dan Bunuh Diri

Sejalan dengan karya lainnya dari Camus, L'Etranger dan Caligula, Le Mythe de Sisyphe juga hendak mewedar sebuah sensitivitas absurd yang bisa ditemukan secara luas dalam keseharian manusia.

Dengan sensitivitas tersebut, maka absah dan penting kiranya untuk merenungkan apakah kehidupan ini punya sebuah makna. Jawaban atas pertanyaan itu dengan sendirinya akan membawa kita untuk bersemuka dengan masalah bunuh diri, topik mendasar yang diangkat oleh Camus.

"Hanya ada satu masalah filsafat yang sungguh-sungguh serius," tulis Camus, "dan itu adalah bunuh diri. Memvonis apakah hidup berharga atau tidak bernilai sama dengan menjawab pertanyaan mendasar tersebut."

Camus berangkat dari pengalaman pribadinya yang diliputi rupa-rupa kemalangan dan nestapa. Ketika umurnya masih sekitar satu tahun, ayahnya meninggal dalam medan pertempuran Perang Dunia Kesatu.

Hidup dalam kemiskinan tampaknya cukup memengaruhi cara pandang Camus terhadap kehidupan. Terutama ketika dia didiagnosis mengalami TBC, yang sekaligus mengubur mimpinya menjadi pesepak bola, Camus seolah dibuat untuk mengerti tentang apa artinya hidup bersama kesakitan.

Di sisi lain, manakala zamannya dipenuhi bayang-bayang perang dan ledakan, dia juga melihat banyak orang mati karena mereka menganggap hidup tak layak dijalani. Bahkan lebih ironisnya, ungkap Camus, mereka secara paradoksal tewas gara-gara ilusi ini-itu yang memberi mereka suatu alasan untuk hidup.

Semua kekacauan itu, dengan intuisi yang tajam dan jernih, mendorong Camus untuk menyimpulkan bahwa persoalan makna hidup termasuk pertanyaan-pertanyaan paling mendesak di antara yang lainnya.

Bagaimana cara menilai bahwa pertanyaan yang ini lebih mendesak ketimbang yang itu? Camus menanggapi bahwa suatu pertanyaan harus dinilai dan diukur berdasarkan tindakan-tindakan yang diakibatkannya.

Karena pertanyaan tentang makna hidup akan selamanya memengaruhi cara hidup seseorang, maka persoalan tentangnya adalah yang paling mendesak.

Menariknya, Camus tidak berjalan maju untuk membuktikan apakah hidup ini bermakna atau tidak; dia menjadikan absurditas sebagai titik bertolak dan sekaligus sebagai kesimpulan. Camus berkomentar bahwa "orang tidak bisa menilai terlebih dahulu posisi yang akan dia ambil."

Jadi, sejak permulaan Camus sudah mendeteksi dan meraba-raba tentang adanya kaitan erat antara absurditas dan bunuh diri.

Mengapa Hidup Ini Absurd?

Bayangkan kita terdampar di sebuah gurun pasir yang terik dan tandus. Kita tentu merasa kehausan dan kekeringan, suatu keinginan yang tak terobati akan kelimpahan air dan udara segar. Namun malangnya, oasis tidak ada, siang dan malam tetap menyengat.

Camus memang tidak memberikan perumpamaan semacam itu, tetapi kiranya cukup relevan untuk membantu kita memahami gagasan Camus. Menurutnya, "keabsurdan itu adalah konfrontasi antara irasionalitas semesta dan kerinduan liar terhadap kejernihan yang bergema di jantung manusia."

Hasrat yang terus membara dalam sanubari manusia akan kejelasan dan rasionalitas, justru disikapi acuh tak acuh oleh semesta. Di sini kita bisa menafsirkan, setidaknya menurut hemat saya, bahwa absurditas dunia justru maujud karena kehadiran manusia di dalamnya.

Jikalau manusia tidak ada, dengan kata lain tidak ada kesadaran yang menuntut kerasionalan dan kejelasan, semesta akan berjalan apa adanya tanpa penghakiman. Dia disebut absurd karena ada makhluk yang meminta jawaban, seperti rindu terhadap kampung halaman yang begitu familier baginya.

"Dunia itu sendiri, yang makna tunggalnya tidak saya pahami, adalah sebuah raksasa irasional," tulis Camus. "Apabila seseorang bisa mengatakan, barang sekali saja: 'Ini sudah jelas,' semua akan terselamatkan."

Di sini Camus kiranya hendak mengatakan bahwa semesta itu tak terpahami, dan kalaupun terdapat penjelasan-penjelasan, itu tidak lain daripada sebuah pemaksaan makna yang bersifat antropomorfik; manusia menjadi ukuran dari segala sesuatu.

Penjelasan kita tentang alam semesta, dengan demikian, hanyalah reduksi nalar kita sendiri yang berusaha memuaskan suatu dahaga akan kejelasan. Lagi pula, Camus bertanya, apa faedah sebuah makna di luar kodrat manusia?

"Saya hanya bisa memahami apa-apa yang berhubungan dengan manusia," tulisnya.

Sama seperti terdampar dalam kengerian gurun pasir, alih-alih ditawarkan oasis, kita malah mendapati rupa-rupa fatamorgana yang menipu dan menjebak, seolah ingin meyakinkan kita bahwa di depan sana ada kelimpahan air, padahal yang ada hanyalah kegersangan lainnya.

"Oleh sebab itu," ungkap Camus, "inteligensia pun kemudian mengajari saya bahwa dunia ini adalah absurd. Kebalikannya, yakni nalar buta, mungkin mengklaim bahwa segalanya jelas; saya menunggu buktinya dan berharap ia benar. Namun, meski amat banyak, selama berabad-abad, orang-orang fasih dan persuasif, saya tahu bahwa itu palsu."

Dari berdiam dalam situasi itulah, Camus tahu tentang apa yang ditemukan di sana, bahwa benak manusia dan dunianya saling bergesekan tanpa bisa saling peluk. Mirip seperti aktor yang tercerabut dari latarnya, bumi yang terpisah dari langitnya, manusia juga tercerai dari hidupnya.

Keseharian manusia pun, karenanya, terus diisi oleh perasaan-perasaan aneh dan janggal. Dalam ketelanjangannya yang menyusahkan, dalam terangnya yang tanpa cahaya, dunia sukar dipahami. "Di setiap sudutnya, perasaan absurd bisa menonjok wajah siapa pun," urai Camus.

Rasa absurd itu, tak lama setelah kita menyadarinya, bahkan jika kita memiliki cukup waktu untuk merefleksikannya dengan lama, sering tanpa jawaban.

Ketika pertanyaan "mengapa" muncul dalam kesadaran dan membuat kita mendadak terhenti dari rutinitas keseharian, kita masih tidak tahu jawabannya. Beberapa jawaban mungkin terbetik, tapi itu hanya mengira-ngira saja. Kita lantas larut dalam ketidakpuasan.

Selepas pemikiran merasa telah sampai di tepiannya, toh waktu juga terus mendesak kita untuk cepat-cepat mengambil tindakan, akhirnya kita melanjutkan apa yang selama ini menjadi rutinitas dan kebiasaan.

Pertanyaan "mengapa", semenjak itu, menjadi selamanya diabaikan dan dijauhi. Terlepas dari betapa akrabnya kita dengan pertanyaan itu, kita juga rasanya begitu akrab dengan kesia-siaan dan kehampaan yang menunggu di belakangnya.

Dalam banyak kasus, sebagian dari kita biasanya merasa jijik, muak sekaligus mual, merasa ingin muntah tanpa henti. 

Satu hal saja: kesesakan dan keanehan dunia itu adalah keabsurdan. Bersama hasrat akan hasil yang pasti, datang pula kepastian pesimis bahwa ujung-ujungnya kita akan mentok (lagi).

Camus tentunya tidak menghendaki sikap pesimis semacam itu. Meskipun rasa absurd dapat menjerumuskan seseorang ke dalam nihilisme, saat segala sesuatunya dianggap tidak bernilai dan kosong, Camus ingin menemukan cara-cara untuk maju melampaui nihilisme.

Rasa absurd adalah permulaan, bukan akhir.

Manusia Absurd

Di hadapan absurditas yang telah dibicarakan, mencuatlah beberapa tipe sikap. 

Tipe pertama, setelah disesaki rasa absurd, orang mengaku bahwa hidup terlalu berat untuk dijalani. Mereka telah mengenali sifat konyol rutinitasnya, ketiadaan alasan paling mendasar untuk tetap hidup, sifat gila dari gejolak sehari-hari, dan kenirfaedahan penderitaan.

Lantas pada suatu malam, mereka menarik pelatuk pistol atau menjatuhkan diri dari ketinggian. Mereka terjatuh ke dalam permainan fatal yang membawa mereka, dari kejernihan di muka eksistensinya, terbang menjauhi cahaya.

Tipe kedua, orang meletakkan klaim atas keabadian, dan hanya dari pijakan inilah mereka melompat. Setelah diterpa rasa gelisah dari keabsurdan dunia, mereka menenangkan dirinya dalam kepercayaan tertentu. Contoh yang mungkin agak mengganggu kita adalah, mereka menenggelamkan dirinya dalam agama.

Camus menyebut sikap demikian dengan "bunuh diri filosofis", karena bagi orang-orang tipe kedua ini, mereka hampir tidak ada bedanya seperti tipe pertama yang memutuskan untuk lari dari absurditas hidup. Perbedaannya, orang tipe kedua lari ke dalam kepercayaan atau filosofis tertentu.

(Saya tidak berminat untuk masuk ke dalam perdebatan apakah Camus ateis atau bukan. Camus sendiri mengaku bahwa dia tidak percaya pada Tuhan, tapi sekaligus mengklaim pula bahwa dirinya bukan ateis; suatu gagasan absurd yang sedikit-banyak menggambarkan sikap ideal Camus di depan absurditas.)

Tipe ketiga mencerminkan sikap ideal Camus sendiri, suatu sikap yang disebutnya "manusia absurd (the absurd man)". Apa sih manusia absurd itu?

"Dialah yang, tanpa menegasikannya, tidak melakukan apa pun untuk keabadian," jawab Camus. "Dia lebih memilih keberanian dan penalarannya. Yang pertama mengajari dia untuk hidup tanpa memohon dan untuk menerima apa yang telah dia miliki; yang kedua mengabari dia batas-batasnya."

"Yakin akan kebebasan terbatasnya yang sementara, akan perlawanannya yang meniadakan masa depan, dan akan kesadaran fananya, dia menjalani petualangannya di dalam rentang waktu usianya. Sebuah kehidupan yang lebih hebat, bagi dia, bukanlah kehidupan yang lain."

Bila diringkas, manusia absurd adalah dia yang secara sadar memilih untuk hidup di sini dan saat ini. Dalam kecintaannya terhadap kehidupan, kendati sangat mengerti bahwa rasa absurd tengah mencekiknya, ada pula sesuatu yang lebih besar ketimbang semua derita di dunia ini.

Camus mengutip ungkapan Abbe Galiani kepada Mme d'Epinay: "Hal yang penting bukanlah soal tersembuhkan, tapi untuk menjalani hidup dengan sakit."

Dia mengenali pergulatannya, tidak sepenuhnya meremehkan nalar, dan mengakui keirasionalan. Dengan begitu, seraya membangkitkan nostalgia yang kuat, dalam sekejap mata dia kembali merengkuh semua data pengalaman dan dia bersiap melompat sebelum tahu.

Dia sekadar tahu bahwa di dalam sinyal kewaspadaan itu, tidak ada lagi tempat bagi harapan. Karenanya, manakala dia membandingkan desakan batinnya dengan apa yang kemudian ditawarkan kepadanya, dia mendadak merasa mau balik badan.

Tetapi bukan sikap pesimis dan putus asa yang ditunjukkannya, sebab walaupun dia tahu bahwa harapan tidaklah layak diandaikan di dunia yang absurd, toh segalanya juga mungkin untuk diraih tanpa perlu mengandaikan bahwa dirinya akan berhasil.

Manusia absurd berjuang untuk apa yang dihargainya tanpa mengharapkan keberhasilan.

"Inilah yang membuat dia bebas terhadap apa pun. Oleh sebabnya, yang dia tuntut untuk dirinya adalah untuk hidup semata-mata berdasarkan apa yang dia ketahui, untuk mengakomodasikan dirinya secara apa adanya, dan tidak mengindahkan apa pun yang tidak pasti."

Manusia absurd diberitahu bahwa tidak ada yang pasti, tapi setidaknya itu adalah sebentuk kepastian tersendiri. Dan dengan inilah, dia peduli: dia mau mencari tahu, jika dimungkinkan, tetapi tanpa menuntut hasilnya seperti apa. Dia punya target dan bukannya harapan.

"Maka, manusia absurd bisa melihat sebuah semesta yang menyala sekaligus dingin, transparan dan terbatas, yang di dalamnya tidak ada kemungkinan, tapi segalanya terberi, dan di balik itu, semuanya runtuh dan tiada."

Lantas dia memutuskan untuk menerima semesta semacam itu dan mengambil dari situ kekuatannya, penolakannya untuk berharap, dan bukti kuat sebuah kehidupan tanpa penghiburan.

Manusia absurd dengan demikian, berbeda dari dua tipe sebelumnya, menyadari akan absurditas hidup, dan justru memilih untuk berada di dalamnya, bergulat bersamanya. Dia tidak lari ke mana pun, selain merayakannya dengan wajah gigih dan gembira.

Mitos Sisifus

Pada akhirnya, figur manusia absurd, bagi Camus, tercermin dalam sosok mitologi Yunani Kuno bernama Sisifus. Saya merasa tidak perlu untuk menguraikan kisah lengkapnya, karena ada perbedaan versi pula mengenai ceritanya.

Minimal kita perlu tahu bahwa Sisifus telah dikutuk oleh para dewa untuk tiada henti mendorong sebongkah batu besar ke puncak gunung, lalu batu itu akan dibiarkan menggelinding lagi ke bawah.


Para dewa yakin, dengan berbagai alasan, tidak ada hukuman yang lebih mengerikan ketimbang kerja sia-sia dan tanpa harapan itu. Namun justru pada titik inilah kegigihan dan heroisme Sisifus hendak ditunjukkan oleh Camus.

Kutukan Sisifus, menurutnya, merupakan gambaran pas untuk menjawab pertanyaan yang timbul dari gagasan absurdisme, yaitu bisakah manusia hidup tanpa tuntutan, tanpa berharap? Dengan kata lain, ada siratan kuat dalam perumpamaan Camus bahwa kita adalah Sisifus.

"Terbangun, (lalu) naik trem, empat jam bekerja di kantor atau pabrik, makan, naik trem lagi, empat jam kerja, makan, tidur, dan pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu, menjalani ritme yang sama."

Dengan kehidupan mekanistis yang demikian, kita kemudian dihampiri kelelahan yang anomali. Impuls kesadaran kita terbuka, dan secara otomatis memancing hal-hal yang muncul setelahnya.

Mirip seperti Sisifus, dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat batu ke puncak gunung. Manakala batu besar itu jatuh menggelinding ke dasar, seraya berjalan menuruni lereng terjal, dia punya beberapa saat untuk mengatur napas dan mengumpulkan tenaga, hanya supaya batu itu bisa diangkat lagi ke puncak gunung.

Selama dia turun itu, dalam jeda itu, Camus membayangkan bahwa Sisifus sedang merenung. "Jika manusia yang sedang turun itu terkadang menampakkan kedukaan," tulis Camus, "dia pun bisa bergembira."

"Terlucutinya harapan tidak berarti keputusasaan. Nyala dunia ini pastilah patut mendapatkan wewangian surgawi." Perasaan absurd dalam diri Sisifus, justru menjadi cahaya pemantik bagi pemberontakannya dan keberaniannya terhadap absurditas itu sendiri.

Di situlah kegembiraan hening Sisifus terkandung. Dia pun menyimpulkan bahwa segalanya baik-baik saja. Sama seperti Sisifus, kita selalu mendapatkan beban kita sendiri-sendiri. Namun, "perjuangan menuju puncak itu sendiri sudah cukup untuk memenuhi batin seorang manusia."

Pada titik ini, masalahnya dibalikkan. Sebelumnya kita bertanya apakah hidup punya makna atau tidak layak untuk dijalani. Sekarang menjadi jelas. Sebaliknya, menurut Camus, hidup akan menjadi lebih baik jika dia tak punya makna. Mengalami sebuah pengalaman, sebuah takdir khusus, adalah menerimanya secara penuh.

"Kita harus membayangkan (bahwa) Sisifus bahagia," tutup Camus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun