Rasa absurd itu, tak lama setelah kita menyadarinya, bahkan jika kita memiliki cukup waktu untuk merefleksikannya dengan lama, sering tanpa jawaban.
Ketika pertanyaan "mengapa" muncul dalam kesadaran dan membuat kita mendadak terhenti dari rutinitas keseharian, kita masih tidak tahu jawabannya. Beberapa jawaban mungkin terbetik, tapi itu hanya mengira-ngira saja. Kita lantas larut dalam ketidakpuasan.
Selepas pemikiran merasa telah sampai di tepiannya, toh waktu juga terus mendesak kita untuk cepat-cepat mengambil tindakan, akhirnya kita melanjutkan apa yang selama ini menjadi rutinitas dan kebiasaan.
Pertanyaan "mengapa", semenjak itu, menjadi selamanya diabaikan dan dijauhi. Terlepas dari betapa akrabnya kita dengan pertanyaan itu, kita juga rasanya begitu akrab dengan kesia-siaan dan kehampaan yang menunggu di belakangnya.
Dalam banyak kasus, sebagian dari kita biasanya merasa jijik, muak sekaligus mual, merasa ingin muntah tanpa henti.Â
Satu hal saja: kesesakan dan keanehan dunia itu adalah keabsurdan. Bersama hasrat akan hasil yang pasti, datang pula kepastian pesimis bahwa ujung-ujungnya kita akan mentok (lagi).
Camus tentunya tidak menghendaki sikap pesimis semacam itu. Meskipun rasa absurd dapat menjerumuskan seseorang ke dalam nihilisme, saat segala sesuatunya dianggap tidak bernilai dan kosong, Camus ingin menemukan cara-cara untuk maju melampaui nihilisme.
Rasa absurd adalah permulaan, bukan akhir.
Manusia Absurd
Di hadapan absurditas yang telah dibicarakan, mencuatlah beberapa tipe sikap.Â
Tipe pertama, setelah disesaki rasa absurd, orang mengaku bahwa hidup terlalu berat untuk dijalani. Mereka telah mengenali sifat konyol rutinitasnya, ketiadaan alasan paling mendasar untuk tetap hidup, sifat gila dari gejolak sehari-hari, dan kenirfaedahan penderitaan.
Lantas pada suatu malam, mereka menarik pelatuk pistol atau menjatuhkan diri dari ketinggian. Mereka terjatuh ke dalam permainan fatal yang membawa mereka, dari kejernihan di muka eksistensinya, terbang menjauhi cahaya.