Suatu waktu, saat Schelling membawakan pidato pengukuhannya di Universitas Berlin, aula utama dibanjiri pendengar. Para profesor dari segala fakultas sangat berantusias untuk menyimaknya.
Setelah Schelling berpidato selama satu jam tentang filsafatnya, aula itu menjadi sangat hening. Mereka semua sama sekali tidak mengerti tentang apa yang dikatakan Schelling.
Dalam kisah lain, ketika sedang mengerjakan manuskrip filsafatnya, Hegel tenggelam ke dalam pemikirannya sendiri. Sekonyong-konyong pelayannya masuk dengan panik dan berteriak, "Kebakaran! Rumah kita terbakar!"
Hegel hanya menoleh sambil berkata, "Katakan dong pada istri saya." Sorenya Hegel baru tahu bahwa api di atap rumahnya baru saja dipadamkan.
Dari kedua anekdot tersebut, terlepas dari nyata atau tidaknya, setidaknya muncul dua kesan tentang filsafat: berat dan memiliki kedalaman. Tetapi kesan-kesan semacam itu kiranya hanya mungkin diucapkan oleh mereka yang sejatinya menyukai filsafat.
Bagi masyarakat awam dan kaum pembenci, dua anekdot tersebut justru dianggap bukti bahwa filsafat hanyalah ilmu yang mengawang-ngawang dan membuat pembelajarnya menjadi gila.
Mereka biasanya menghubungkan filsafat dengan buku-buku ribuan halaman yang sulit dipahami, tidak mengatakan sesuatu pun dan tidak menyelesaikan masalah apa pun. Mereka membayangkan para filsuf sebagai lelaki tua pengap dengan kemeja salah kancing, berjanggut lebat dan perut buncit.
Sebenarnya tidak ada yang baru perihal semua itu; filsafat memang sudah menjadi sasaran tinju favorit selama berabad-abad. Kritik terhadapnya, bisa dibilang, sudah sangat usang dan lapuk: sains sedianya memberitahu kita semua yang perlu kita ketahui, filsafat "sudah mati".
Kendati begitu, ada keanehan kecil yang lucu tentang kritik filsafat semacam itu: untuk benar-benar mengkritik filsafat, seseorang justru harus terlibat dalam filsafat. Dengan kata lain, aktivitas mengkritik filsafat adalah suatu bentuk berfilsafat itu sendiri.
Lantas, apa itu filsafat? Mengapa filsafat, seperti yang nanti akan ditunjukkan, selalu hadir dalam keseharian kita? Apakah masih relevan untuk membicarakan dan mempelajari filsafat? Atau ringkasnya, mengapa kita semua membutuhkan filsafat?