Kendati begitu, bagi sebagian lainnya yang secara inheren sosial, merangkul kesendirian bukanlah tugas yang mudah. Keterpisahan mereka dengan orang lain mendorongnya untuk terus mencari hubungan kolektif, demi mengurangi rasa kesepian yang intens.
Dalam mencari kehangatan tersebut, seseorang terus-menerus menggulirkan laman beranda, tidak pernah mengembangkan kemampuan untuk menjadi mandiri dan nyaman dalam kesendirian.
Media sosial yang mulanya membuat dia merasa terkucil, toh masih saja dipercayanya sebagai jalan penghapus keterkucilan pula. Pada akhirnya, dia menciptakan lingkaran setan yang hanya meningkatkan perasaan sepi dan sendiri. Dia teralienasi.
Justru karena media sosial memungkinkan seseorang untuk menjadi bagian dari kerumunan, mereka yang kesepian menjadi semakin tidak tahan dengan kesendirian. Mereka tidak dilatih untuk menikmati kesunyian; mereka diberi peluang untuk berkerumun, dan lalu dimungkinkan pula untuk terkucilkan.
Ada tekanan untuk menampilkan diri kita sebagai anggota masyarakat yang sosial, aktif, dan diinginkan. Ketika orang lain juga menampilkan muatan konten yang hampir sama dengan kita, tetapi jumlah "love-nya" lebih banyak, kita lantas percaya bahwa kita tidak terhubung secara sosial seperti mereka.
Itu berpotensi meningkatkan perasaan alienasi, serta mendorong kita untuk lebih terlibat dalam media sosial dengan keyakinan bahwa rasa inferior kita adalah salah, dan bahwa keyakinan itu dapat menyelesaikan masalah.
Persetujuan sosial dalam dunia maya menjadi seperti sebuah ujian: jika saya gagal, maka saya harus mengulanginya lagi sampai benar-benar berhasil. Tetapi tentunya tidak; media sosial bukanlah ujian.
Sebagai bagian dari generasi mayoritas pengguna media sosial, saya sangat maklum terhadap permasalahan ini. Saya tidak pernah merasa begitu kesepian seperti pada jam tertentu ketika saya diberi kesempatan untuk mengobrol dengan banyak orang, tapi toh nyatanya saya tetap sendirian.
3. Media sosial menurunkan kualitas interaksi
Meskipun media sosial memperluas relasi sosial kita, namun yang sering terjadi adalah dengan mengorbankan kualitas interaksi. Pertemuan kita dengan orang lain menghasilkan bentuk komunikasi yang jauh lebih miskin daripada yang dimungkinkan saat tatap muka langsung.
Dengan begitu, perasaan alienasi dapat mencekik leher kita erat-erat, sebab kendatipun jaringan sosial yang kita nikmati jauh lebih besar jumlahnya daripada yang dapat diakses oleh peradaban pra-internet, kita tidak benar-benar mengenal dan mengerti orang lain.
Nilai komunikasi justru berkurang, dan kita menyadarinya, pun tetap melakukannya.