Bagi Machiavelli, itulah kondisi politik yang apa adanya. Menang dalam politik berarti menjadikan kondisi tersebut sebagai titik tolak strategi bermanuver, dan sebaliknya, mengabaikan kenyataan itu sama seperti "bunuh diri" selama pertempuran.
Selain itu, dari rupa-rupa chaos yang dihadapinya, Machiavelli percaya bahwa yang diutamakan kekuasaan bukanlah persoalan legitimasi moral, melainkan bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu dapat menjadi stabil kembali dan lestari.
Pandangannya tentang politik tidak berasal dari paradigma konvensional yang merajalela selama Abad Pertengahan, bahwasanya tugas pemerintah yang paling utama terletak pada distribusi dan pemeliharaan nilai keadilan.
Pandangan konvensional itu dinilainya sangat tidak cocok dengan praktik kekuasaan yang dia saksikan, sekaligus tidak sesuai pula dengan praktik politik semasa kejayaan Kekaisaran Romawi (Copleston, 1993, hlm. 128--134).
Ditambah lagi, layaknya sebuah barang atau makhluk, kekuasaan juga memiliki tenggat waktu, cepat atau lambat.
Justru karena desakan waktu inilah, menurutnya, karena begitu pendeknya kesempatan untuk berkuasa, maka para penguasa sebaiknya tidak menenggelamkan diri dalam cita-cita menegakkan moralitas dan religiusitas, tetapi penguasa harus menjadi lihai serta terencana agar mampu memanfaatkan keterbatasan-keterbatasan kodrat manusia yang pada dasarnya egoistis.
Paradigma tersebut membawa Machiavelli pada suatu inti dari permainan politik, semacam postulat dalam kehidupan politik, bahwa rakyat itu gampang dibohongi dan dimanipulasi dukungannya lewat penampilan-penampilan sang penguasa yang karismatik serta persuasif.
Rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi kuat supaya teryakinkan oleh apa yang mereka lihat dan saksikan secara langsung. Dengan memanfaatkan kesempatan ini, seorang penguasa semestinya tidak segan-segan untuk berbuat licik supaya kepentingan negara dapat terwujudkan.
Dia melihat praktik politik yang konkret dalam sebuah negara, utamanya pada tingkah laku penguasa ketika merebut kekuasaan dari rezim lama yang, jika diperlukan, kerap menggunakan kekerasan dan pemaksaan untuk mempertahankan kekuasaan.
Di luar itu, jika ada kesempatan untuk memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang, maka penguasa akan sesegera mungkin mencari celah demi kelanggengan dan kelestarian kekuasaannya (Mayer, 1951, hlm. 31--33).
Dengan demikian, baginya, politik dan moralitas merupakan dua bidang terpisah dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Dalam urusan politik, kiranya tidak ada tempat untuk membicarakan masalah moral.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!