Anti-politik mengacu pada penolakan terhadap politisi arus utama dan proses politik, terutama partai politik dan mekanisme struktural yang mapan. Salah satu manifestasinya adalah penurunan keterlibatan politik. Dalam beberapa kasus, mereka turut menawarkan struktur politik alternatif yang dinilainya lebih "otentik" (Heywood, 2019, hlm. 764).
Apa yang kadang-kadang tampak seperti runtuhnya kepercayaan antara publik dan elite politik pada umumnya tidak hanya mendorong masyarakat untuk berpaling dari politik dan mundur ke dalam urusan pribadi.
Sebaliknya, itu telah melahirkan "bentuk-bentuk politik baru" yang, dalam berbagai cara, berusaha untuk mengartikulasikan kebencian atau permusuhan terhadap struktur politik konvensional.
Istilah "anti-politik", karenanya, menjadi tidak relevan.
Tetapi yang jelas, akibat gerakan semacam itu, politik arus utama tidak hanya melahirkan sikap apatis dan keterputusan, tetapi tampaknya juga menimbulkan frustrasi, kejengkelan dan, lebih jauhnya, kebencian.
Pada titik inilah kita dapat menilai bahwa politik tengah mengalami masa krisisnya.
Krisis politik terjadi ketika orang-orang, selaku subjek yang berkepentingan di dalamnya, memilih untuk memalingkan diri dari politik. Hematnya lagi, kepercayaan terhadap politik sebagai instrumen pemecah masalah berbalik sepenuhnya menjadi penambah masalah.
Paradigma tersebut biasanya dikaitkan langsung dengan pemerintah, bahwa politik semakin mendapatkan citra terburuknya ketika otoritas dinilai gagal untuk menciptakan apa-apa yang menjadi harapan bersama, misalnya kesejahteraan dan kebahagiaan kolektif.
Dengan kata lain, kebijakan publik yang serampangan dan sembarangan dapat memperparah terjadinya krisis politik, meskipun perlu digarisbawahi sejak awal, sikap demikian adalah keliru.
Maksud saya, jika kita semua membenci banjir yang menenggelamkan segenap pemukiman, bukan berarti kemudian kita menjadi "anti-air". Banjir merupakan sebuah gejala; sikap antipati terhadap air sama sekali tidak berpengaruh terhadap ada-tidaknya banjir.
Namun, kekeliruan penalaran demikian nyatanya masih cukup mengakar dalam masyarakat kita, sehingga ada baiknya kita berjalan lebih jauh lagi untuk memeriksa kelalaian kita sendiri, karena toh bagaimanapun, kita adalah bagian dari kesatuan masyarakat.