Tentu penyederhanaan ini tidak dimaksudkan untuk mereduksi hakikat Pancasila itu sendiri. Hemat saya, jarak antara berpikir, pengambilan keputusan dan tindakan amat-sangat singkat sehingga pada praktiknya, manusia memerlukan penyederhanaan prinsip hingga tingkatan tertentu.
Di sini, pemikiran mendiang Romo Driyarkara layak mendapatkan tempat. Menurut beliau, sikap Pancasila membawa kita ke sikap humanisme, tetapi humanisme yang bersifat religius serta sosialistis (Driyarkara, 1966).
Dengan humanisme, maksudnya ialah pandangan dan pendirian yang melihat dan mengakui bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki struktur tersendiri dalam dunia ini. Alhasil, manusia harus menuju ke status dan cara hidup yang sesuai dengan struktur itu.
Bagaimana kaitannya dengan jagat digital?
Jika Pancasila sungguh-sungguh hendak dijadikan pedoman perbuatan keseharian, khususnya di dunia maya, maka sederhananya, kita perlu menjadi netizen (internet citizen) yang humanis, sekaligus religius dan sosialis.
Saya akan tinggalkan dua nilai terakhir dengan mempertimbangkan tingkat relevansinya dalam konteks saya saat ini. Nilai yang pertama lebih ditekankan karena makna dan tafsirannya dapat diperluas, bahkan pada tingkatan tertentu, dua nilai terakhir juga tercakup di dalamnya.
Dalam rangka pandangan humanisme, secara cepat-cepat kita dapat menilai bahwa penyebaran berita hoaks dan saling mencaci di media sosial, yang mana belakangan ini fenomena demikian semakin menjamur, dapat dikatakan sebagai inhuman.
Demikian juga jika orang lain tidak diberikan kesempatan untuk melontarkan kritik, terutama kepada rezim politik, maka hal itu juga kita sebut inhuman. Sejumlah contoh ini dapat memperjelas apa maksud dari "netizen Pancasilais", yaitu memperlakukan manusia sebagai manusia.
Beberapa dari kita barangkali mengesankannya secara berbeda bahwa prinsip "memperlakukan manusia sebagai manusia" adalah sesuatu yang lucu dan konyol, sebab jika hal demikian masih perlu dipertegas, lantas disebut apa tindakan mayoritas orang selama ini?
Kita akui saja bahwa memang, di satu sisi, prinsip tersebut terkesan permainan gramatikal yang sesekali mengundang tawa. Namun di sisi lain, kita juga turut tertampar olehnya, karena jika hal sesederhana itu saja masih harus ditegaskan, berarti ada kekonyolan pula yang selama ini kita lakukan.
Kerangka humanisme ini, bila disederhanakan lagi, dapat mengacu pada segenap hak asasi manusia yang mesti dibela.Â