Apa makna peringatan Hari Lahir Pancasila di tengah tren kehidupan yang sudah jauh berbeda dengan masa pencetusannya? Jika nilai-nilai Pancasila diyakini kebenarannya untuk menjadi pedoman segala aktivitas bangsa Indonesia, lantas bagaimana praktiknya hari ini?
Kedua pertanyaan itu muncul dalam benak saya dari adanya sebuah fakta menarik, bahkan tidak terhindarkan, bahwa jagat digital sudah bertransformasi menjadi suatu realitas tersendiri dan bukan lagi sekadar "dunia sampingan" di dalam kenyataan yang ada.
Konsekuensinya, aneka hiruk-pikuk yang terjadi di sana bukan hanya mempengaruhi realitas sehari-hari, tetapi seolah menjadi satu-kesatuan dimensi yang batasan-batasannya tidak lagi diindahkan. Sesederhana perkara saling mengkritik di kolom komentar, keesokannya sudah saling menuduh di meja pengadilan.
Kendati begitu, sebelum melontarkan argumen apa pun, pertama-tama saya ingin melihat dan menilai fenomena ini sebagai sesuatu yang netral. Dengan kata lain, saya mengibaratkannya seperti lahan kosong yang dapat ditanami segala macam tumbuhan.
Tentu dari sekian banyaknya yang nanti bertumbuh subur, besar kemungkinan tidak semua buahnya layak dimakan atau menyehatkan. Beberapa di antaranya mungkin mengandung racun, sebagian terlanjur membusuk, dan sisanya hanyalah parasit.
Melalui kacamata ini, cukup adil kiranya untuk menegaskan bahwa kemunculan dunia maya sebagai "realitas baru" bagi keseharian kita, telah memungkinkan rupa-rupa peluang untuk memperkenalkan identitas dan kesejatian kita kepada dunia.
Saya tidak semata-mata memaknai peluang ini sebagai cara mutakhir untuk menunjukkan rasa bangga terhadap bangsa sendiri.Â
Lebih dari itu, pengenalan identitas mencerminkan isyarat sakral bahwa sebagai sebuah bangsa besar, di samping betapa banyaknya pilihan, Pancasila adalah jalan hidup yang kita putuskan; maka inilah fondasi filsafat kehidupan kita.
Sikap demikian pastinya memerlukan penafsiran lebih jauh agar tidak disalahpahami, apalagi dilebih-lebihkan. Tetapi, sesuai pertanyaan utama yang diajukan sebelumnya, saya tidak akan memperdalam persoalan national-esteem ataupun pembelaan terhadap Pancasila dibanding paham-paham yang lain.
Saya juga tidak akan menguraikan sila-sila Pancasila satu per satu dan lalu mengaitkannya dengan aneka problematika di jagat digital; banyak orang sudah melakukan itu, termasuk dalam kajian-kajian akademik.
Saya percaya bahwa secara intuitif, mengingat kita pun sudah "mempelajarinya" sedari kecil, kita dapat memahami apa maksud dari setiap sila Pancasila dan bagaimana kita mesti menerapkannya selama beraktivitas di dunia maya.
Masalah sebenarnya terletak pada tahap implementasi dan pengamalannya yang jarang terlihat, bahkan cenderung disewenang-wenangkan.
Dengan keadaan seperti sekarang, ketika dunia maya dan dunia nyata seolah melebur menjadi satu, tampaknya telah mencuat sebuah pertanyaan yang menuntut untuk dijawab sesegera mungkin: Di mana dan ke mana Pancasila hendak ditempatkan?
Pancasila dan Zaman Kita
Pancasila, bila hendak diakui sebagai ideologi, merupakan paham yang didasarkan atas realitas, artinya benar-benar merumuskan kenyataan yang ada, bukan sebatas cita-cita abstrak yang hendak diperjuangkan secara konkret.
Dengan begitu, Pancasila tidak diturunkan dari langit; Pancasila adalah rumusan realitas yang bahkan sebetulnya tidak hanya mencakup Indonesia, melainkan realitas manusia pada umumnya.
Justru karena Pancasila berangkat dari pengamatan yang tajam terhadap kenyataan manusia, Pancasila otomatis mengandung banyak ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia Indonesia berhubungan dengan sesama, alam dan Tuhan ketika bermasyarakat dan bernegara.
Sama seperti ketika kita berkata: "Padi itu sudah menguning", maka sebenarnya kita tidak hanya mengungkapkan realitas yang apa adanya, tetapi juga turut merumuskan bahwa sesuatu yang lain masih akan terjadi.
Pada titik ini, kita dapat mengamati adanya suatu timbal-balik: ideologi dipungut dari realitas dan kemudian harus dikembalikan lagi ke realitas. Memang persoalan ini amatlah sederhana. Persoalan lebih beratnya adalah, bagaimana timbal-balik itu dapat diaktualisasikan?
Pertanyaan tersebut sudah sejak jauh hari hendak dijawab, dan jawaban paling menonjol, toh kita pun terus diingat-ingatkan sepanjang menempuh pendidikan formal, adalah bahwa Pancasila harus dijadikan pedoman hidup sehari-hari.
Walaupun selama ini dalam praktiknya lebih sering sebatas mengganjal saja di dalam benak, perlu diakui, darma tersebut perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan yang lebih mendalam. Ini bukan melulu soal peneguhan identitas bangsa; ini perkara jalan hidup yang hendak kita lakoni bersama sebagai makhluk sosial.
Sebagai pedoman keseharian, Pancasila perlu diperjelas menjadi suatu prinsip yang kiranya memudahkan masing-masing individu untuk menyadarinya dan mengamalkannya. Karena jika Pancasila sebatas disadari sebagai lima sila belaka, kita mungkin akan terjatuh pada kebingungan yang memutar kepala.
Tentu penyederhanaan ini tidak dimaksudkan untuk mereduksi hakikat Pancasila itu sendiri. Hemat saya, jarak antara berpikir, pengambilan keputusan dan tindakan amat-sangat singkat sehingga pada praktiknya, manusia memerlukan penyederhanaan prinsip hingga tingkatan tertentu.
Di sini, pemikiran mendiang Romo Driyarkara layak mendapatkan tempat. Menurut beliau, sikap Pancasila membawa kita ke sikap humanisme, tetapi humanisme yang bersifat religius serta sosialistis (Driyarkara, 1966).
Dengan humanisme, maksudnya ialah pandangan dan pendirian yang melihat dan mengakui bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki struktur tersendiri dalam dunia ini. Alhasil, manusia harus menuju ke status dan cara hidup yang sesuai dengan struktur itu.
Bagaimana kaitannya dengan jagat digital?
Jika Pancasila sungguh-sungguh hendak dijadikan pedoman perbuatan keseharian, khususnya di dunia maya, maka sederhananya, kita perlu menjadi netizen (internet citizen) yang humanis, sekaligus religius dan sosialis.
Saya akan tinggalkan dua nilai terakhir dengan mempertimbangkan tingkat relevansinya dalam konteks saya saat ini. Nilai yang pertama lebih ditekankan karena makna dan tafsirannya dapat diperluas, bahkan pada tingkatan tertentu, dua nilai terakhir juga tercakup di dalamnya.
Dalam rangka pandangan humanisme, secara cepat-cepat kita dapat menilai bahwa penyebaran berita hoaks dan saling mencaci di media sosial, yang mana belakangan ini fenomena demikian semakin menjamur, dapat dikatakan sebagai inhuman.
Demikian juga jika orang lain tidak diberikan kesempatan untuk melontarkan kritik, terutama kepada rezim politik, maka hal itu juga kita sebut inhuman. Sejumlah contoh ini dapat memperjelas apa maksud dari "netizen Pancasilais", yaitu memperlakukan manusia sebagai manusia.
Beberapa dari kita barangkali mengesankannya secara berbeda bahwa prinsip "memperlakukan manusia sebagai manusia" adalah sesuatu yang lucu dan konyol, sebab jika hal demikian masih perlu dipertegas, lantas disebut apa tindakan mayoritas orang selama ini?
Kita akui saja bahwa memang, di satu sisi, prinsip tersebut terkesan permainan gramatikal yang sesekali mengundang tawa. Namun di sisi lain, kita juga turut tertampar olehnya, karena jika hal sesederhana itu saja masih harus ditegaskan, berarti ada kekonyolan pula yang selama ini kita lakukan.
Kerangka humanisme ini, bila disederhanakan lagi, dapat mengacu pada segenap hak asasi manusia yang mesti dibela.Â
Itu berarti, kita dituntut untuk turut mendukung penyempurnaan manusia dalam hidupnya, sehingga dia bisa berkembang, berkebudayaan, berbahagia, dan bergerak secara merdeka.
Mengutip Voltaire, "Pikirkan untuk diri sendiri dan biarkan orang lain menikmati hak istimewa untuk melakukannya juga." Itulah humanisme; itulah netizen Pancasilais; itulah Demokrasi Pancasila.
Di luar itu, sebenarnya saya tidak bermaksud supaya kita, terlepas dari otonomi individu, untuk bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku sudah cukup Pancasilais?" Kenyataannya, entah ia Pancasilais sejati atau tidak sama sekali, tugasnya tetaplah sama: mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian, termasuk di jagat digital.
Saya tidak mengarahkan pada kondisi ideal A-Z yang perlu kita wujudkan bersama. Apa yang penting, kita telah sepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman berperilaku, dan kita mesti mengimplementasikannya sebaik-baiknya.
Sebagaimana sebongkah mutiara yang karam di dasar laut: dalam kegelapan dan derasnya arus, dia tidak bertanya, "Apakah aku sudah cukup bersinar?" Dia hanya bersinar, kemudian semesta dengan sendirinya tidak bisa mengelak lagi bahwa dia memang begitu memesona.
Karenanya, kesimpulan saya tidak terlalu muluk. Saya tidak mengharapkan (akan) ada orang yang mengaku Pancasilais di jagat digital, atau sebut saja "netizen Pancasilais". Saya hanya mencari mereka yang berkelakuan manusiawi, sebab dengan sendirinya mereka adalah netizen Pancasilais.
Pada akhirnya, Hari Lahir Pancasila seyogianya tidak dijadikan sekadar peringatan sejarah Pancasila belaka, justru yang terpenting ialah sebagai momen evaluasi dan refleksi tentang sejauh mana Pancasila telah (dan dapat) mengambil peran dalam tatanan hidup bersama.
Ini adalah hal hebat untuk melihat apa yang sebenarnya sudah berada di depan hidung kita sejak lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H