Marcus Aurelius adalah satu di antara sekelumit tokoh klasik yang masih dapat berbicara banyak kepada generasi kita. Melalui magnum opus-nya, Meditations, ia berhasil memikat pembaca secara luas dari waktu ke waktu, bahkan sejak abad ke-18 hingga sekarang.
Presiden Bill Clinton, misalnya, mengaku telah membaca berulang-ulang buku Marcus selama masa kepresidenannya. Seorang komentator terkemuka, Matthew Arnold, menilai Meditations sebagai "catatan singkat yang mengagumkan perihal moral" (Sellars, 2012, hlm. 535).
Bahkan dalam bab kedua On Liberty, John Stuart Mill (1806--1873) menganggap Meditations sebagai "produk etika tertinggi dari pikiran klasik" dan bahwa Marcus sendiri adalah "yang terbaik serta paling tercerahkan di antara orang-orang sezamannya" (Mill, 2003, hlm. 95).
Dalam arti tertentu, kita dapat menduga bahwa ketenaran bukunya itu hanyalah suatu kebetulan belaka, karena serangkaian nasihat dan refleksi Marcus dalam Meditations tampaknya tidak ditujukan untuk siapa pun selain dirinya sendiri.
Kata-katanya begitu pribadi dan seperti diarahkan "ke dalam". Bisa dibilang, Meditations adalah transkrip entri dari jurnal harian Marcus yang disunting sebagai sarana perenungannya, entah itu sebagai Kaisar maupun filsuf.
Meskipun ditulis sekitar 19 abad yang lalu, sebagian besar wejangan Meditations tetap terasa sangat relevan untuk semua musim, khususnya bagi orang-orang di zaman kita yang setiap detiknya dilanda keresahan dan kekhawatiran akan masa depannya.
Hal ini menjadi semakin kentara apabila kita menghubungkannya dengan salah satu nasihat pokok dari Meditations, yaitu hasrat untuk mencapai ketenaran.
Sebagaimana fenomena yang kita jumpai di media sosial, penduduk Romawi semasa pemerintahan Marcus juga gemar "bersilat lidah" untuk menentukan siapa yang paling superior dan kemudian menjadi terkenal.
Memang, jika diukur dari konteks peradaban, apa yang terjadi di zaman kita sudah jauh berbeda dengan hiruk-pikuk Kekaisaran Romawi saat itu. Akan tetapi, jika ukuran yang diambil adalah semangat zaman, tampaknya setiap peradaban selalu memiliki satu kesamaan yang tidak terelakkan, yaitu didorong oleh nalurinya sendiri sebagai manusia.
Naluri yang dimaksud di sini, tentu saja, adalah hasrat untuk mencapai ketenaran. Walaupun sebenarnya ada seabrek penjelasan mengapa hasrat tersebut tergolong normal (dan sampai titik tertentu juga menyehatkan), tetapi saya hanya akan memfokuskan diri pada bagaimana Marcus mengindahkannya dengan sebuah sikap yang saya sebut "Ironi Aurelius".
Sekilas tentang Marcus Aurelius dan Meditations
Marcus Aurelius merupakan satu di antara "lima kaisar yang baik" sepanjang berdirinya Kekaisaran Romawi (Ackeren, 2012, hlm. 494). Selepas kepergiannya, ia dikenang oleh penduduk Roma sebagai "Ayah yang Baik", "Kaisar yang Mulia", "Jenderal yang Berani", dan "Penguasa yang Bijaksana".
Ketika negerinya mengalami krisis ekonomi akibat wabah penyakit dan Perang Marcommanic, Marcus melakukan berbagai penyesuaian anggaran yang mengejutkan, seperti melelang permata dan rupa-rupa aset Kekaisaran, termasuk rela menjual harta-benda pribadinya demi sekadar memberi makan beberapa rakyatnya yang kelaparan di pinggir jalan.
Banyak orang menganggap Marcus sebagai contoh ideal dari utopia Plato tentang sosok Philosopher-King (Raja-Filsuf). Hal ini berkenaan dengan figur Marcus sendiri yang sangat menggemari filsafat, khususnya aliran Stoicism.
Selain disibukkan oleh kewajibannya sebagai kaisar, Marcus juga sangat rutin menyediakan waktu setiap malam untuk menyendiri, termenung lama sekali dalam keheningan, dan lalu menuliskan refleksi filosofisnya dalam suatu jurnal harian yang kelak dikumpulkan menjadi satu buku berjudul Meditations.
Manuskrip dan edisi cetak Meditations yang kita miliki hari ini sering ditampilkan dalam dua belas buku serta dibagi menjadi 488 entri; sebagian berisi petuah panjang, namun beberapa di antaranya hanyalah kalimat tunggal.
Sekurang-kurangnya, kita dapat menemukan dua pokok nasihat yang berulang-ulang dalam Meditations: kegusaran dan keinginan untuk terkenal. Kegusaran mewakili suatu kondisi dari hilangnya kekuatan rasio, sedangkan ketenaran dipandang sebagai keengganan untuk hidup di masa kini dan saat ini.
Wabah Narsisme
Dalam mitologi Yunani, diceritakanlah seorang pemuda tampan bernama Narcissus yang diimpikan oleh banyak orang. Satu per satu lamaran datang kepadanya, tetapi dia menolak dengan cukup kejam dan kadang-kadang seraya meremehkan pelamarnya.
Nemesis (dewi pembalasan) turun tangan untuk menghukum kesombongannya dengan sebuah siksaan khusus. Suatu hari, Narcissus melakukan perjalanan berburu dan menemukan kolam air yang begitu jernih.
Dia menatap sebuah bayangan indah hingga mengabaikan segala sesuatu di sekitarnya. Narcissus jatuh cinta pada bayangan tersebut dan tidak menyadari bahwa orang yang tengah dilihatnya adalah dirinya sendiri (Tomkins, 2011).
Kisah Narcissus kiranya dapat membantu kita dalam memahami istilah "narsisme". Dalam terminologi hari ini, narsisme dicirikan oleh presentasi diri yang berlebihan sebagai jalan pemenuhan kebutuhan self-esteem.
Sebagaimana telah kita ketahui, fenomena tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam peradaban manusia, tetapi menjadi semakin kentara belakangan ini berkat kehadiran media sosial.
Secara inheren, media sosial melibatkan presentasi diri dan umpan balik dari orang lain sehingga cukup masuk akal bahwa narsisme akan menjadi faktor utama tentang mengapa beberapa individu begitu royal terhadap media sosial.
Penelitian telah menunjukkan bahwa narsisme terhubung dengan keinginan untuk memiliki jejaring sosial yang besar dan kekhawatiran untuk mendapatkan perhatian orang lain (Barry dkk., 2017).
Bahkan penelitian lainnya menemukan bahwa keinginan untuk terkenal semata-mata demi popularitas itu sendiri adalah tujuan masa depan yang paling umum di antara sekelompok anak berusia 10-12 tahun; menutupi harapan untuk kesuksesan finansial, prestasi diri, dan rasa kebersamaan (Uhls & Greenfield, 2012).
Sampai batas tertentu, kita dapat memaklumi dan menerima dengan wajar fenomena tersebut, tetapi ketika ia berubah menjadi semacam "wabah", dalam artian terus meluas dan menyebar, tampaknya kita berada dalam masa yang penuh kerentanan dan ketegangan.
Masalah terbesar dari rasa lapar akan narsisme adalah sifat pemuasannya yang sementara. Sama halnya seperti kekuasaan, pemenuhan kebutuhan narsisme akan terasa melegakan dalam jangka yang sangat singkat, kemudian setelah itu, rasa laparnya kembali dengan lebih ganas dan liar.
Sebagai kaisar yang dikelilingi aneka kelimpahan, Marcus menyadari adanya hasrat yang membara dalam dirinya untuk mencapai ketenaran. Namun, alih-alih memuaskan hasrat tersebut dengan menggunakan privilege yang ada, ia justru mengendalikannya melalui gaya hidup yang bersahaja serta rasional (6.16).*
Kata "mengendalikannya" dipilih sebagai gambaran bahwa meskipun Marcus sebenarnya menolak untuk mengejar ketenaran, tetapi toh ia tetaplah seorang kaisar sekaligus filsuf yang terus dikenang hingga hari ini, atau kurang-lebih sembilan belas abad setelah kematiannya.
Itulah mengapa saya menyebutnya "Ironi Aurelius": ia menjadi terkenal bukan karena mengejar ketenaran, tetapi justru dengan menolaknya. Bagaimana kita dapat menguraikan persoalan tersebut?
"Ironi Aurelius"
Bagi Marcus, hidup adalah sebuah ziarah dan perjuangan. Waktu yang kita miliki hanyalah sesaat, alam semesta terus berubah, tubuh yang kita tunggangi semakin rapuh, panca indra beranjak lemah, masa depan bagaikan kabut, dan ketenaran cepat berlalu (2.17).
Dengan begitu, upaya untuk mencapai ketenaran hanyalah bentuk perjuangan yang sia-sia, ibarat seperti mengumpulkan tumpukan pasir yang sedemikian besar; esok hari, angin datang dan meniup habis semuanya. Marcus menulis (2.12):
Betapa cepat segala hal menghilang. Mereka berlalu dari dunia ini dan semua ingatan tentang mereka dalam sekejap saja segera memudar.
Hidup dipandangnya sebagai suatu perjalanan: kita memulai pelayaran hingga ke tepi pantai yang jauh, dan ketika tiba pada ujung cerita, kita keluar dari perahu (3.3). Di kala itu, kita tidak "kehilangan" masa lalu atau masa depan, sebab bagi Marcus, kita memang tidak pernah memilikinya (2.14).
Salah satu latihan yang membantu Marcus untuk menangkal kegilaan terhadap rupa-rupa kemasyhuran yang dimilikinya adalah memandang jauh dunia manusia yang begitu kecil dan "tidak penting".
Kadang-kadang, ia mendesak dirinya untuk memandang rendah kehidupan manusia dari ketinggian, menatap hamburan bintang-bintang yang gemilang di kegelapan malam seraya membayangkan dirinya berada di atas sana dan melihat bumi yang ditinggalinya sebagai "titik sepele" dari kemegahan alam raya (8.12).
Marcus mengingatkan (3.10):
Apakah kau mencari ketenaran sehingga kau akan hidup dalam ingatan orang-orang setelah kau mati? Ingatlah bahwa hari-hari mereka juga singkat; mereka hampir tidak punya waktu untuk mengenal diri mereka sendiri. Dan bahkan jika mereka hidup sepuluh ribu tahun dan menyimpan kenangan tentangmu, apa gunanya bagimu? Hidup hanyalah untuk yang hidup.
Dalam kacamata filosofis, Marcus amatlah mengerti tentang seberapa cepatnya semua hal dilupakan. Oleh karenanya, sambutan bising tepuk tangan dan sorakan dipandangnya sebagai tamparan tangan dan kepakan lidah belaka; tidak lebih dari itu. Marcus menulis (6.18):
Keinginan untuk diingat dan dipuji oleh generasi setelah kematianmu adalah sesuatu yang konyol. Mengapa mengharapkan kata-kata yang tidak akan pernah kaudengar dari orang-orang yang juga tidak akan pernah kaulihat?
Kendati begitu, fakta tetaplah fakta bahwa Marcus merupakan salah satu tokoh ikonis dari zaman klasik yang masih terus dikenang hingga hari ini. Kontradiksi antara penolakan dan penerimaan popularitas tersebut akhirnya menimbulkan suatu pertanyaan tersendiri: apa yang dilakukan Marcus untuk menjadi sedemikian terkenal dan dikagumi?
Kita dapat melihat bagaimana sebenarnya Marcus tidak mengejar ketenaran sama sekali. Apa yang dilakukannya adalah hidup sesuai prinsip pribadinya, baik sebagai kaisar, filsuf, maupun warga dunia.
Dengan demikian, bagi Marcus, ketenaran hanyalah suatu efek samping yang terjadi begitu saja dari apa yang dilakukannya, sehingga tidak perlu dikejar, apalagi hingga menyiksa diri; cukuplah hidup sebagaimana adanya diri kita dan biarkan ketenaran itu sendiri yang mengejar kita (10.36). Ia menulis (11.12):
Biarlah jiwamu tenteram dengan tidak mengejar (atau lari dari) apa pun.
Menurut Marcus, kecantikan dan keindahan tidak membutuhkan dukungan pujian atau apa pun. "Apakah permata yang murni dan terpotong halus akan kehilangan kilauan dirinya saat tidak dipuji?" tanyanya.
Hal yang sama juga berlaku untuk kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Apakah semua ini bergantung pada kontes popularitas? Bisakah salah satu dari mereka didiskreditkan oleh penghinaan? Jawaban Marcus jelas: tidak (4.20).
Dengan demikian, rahasia terkenal ala Marcus Aurelius adalah justru dengan tidak mengejar ketenaran, melainkan hidup sesuai prinsip pribadi dan menjalankan segala kewajiban dengan keseriusan yang jujur serta sederhana.
Popularitas hanyalah efek samping dari hal-hal yang kita lakukan dengan baik, dan begitu pula perihal narsisme yang sama sekali bukan tujuan akhir.Â
Cukuplah untuk hidup sebagai "mutiara" yang seiring waktu semakin berkilau. Meskipun gumpalan lumpur gelap menutupi, mereka pada akhirnya tidak akan mampu untuk menghalangi sinar kita.
Sebagaimana petuah Marcus (10.33), "Berhentilah berbicara tentang apa yang membuat seseorang menjadi baik. Jadilah orang baik."
*Sitasi (6.16) berarti dikutip atau diparafrasekan dari Meditations buku ke-6 dan entri ke-16.
Daftar Pustaka
Ackeren, M. van. (2012). A Companion to Marcus Aurelius. John Wiley & Sons.
Aurelius, M. (2006). Meditations. Penguin UK.
Barry, C. T., Doucette, H., Loflin, D. C., Rivera-Hudson, N., & Herrington, L. L. (2017). "Let Me Take a Selfie": Associations Between Self-Photography, Narcissism, and Self-Esteem. Psychology of Popular Media Culture, 6(1), 48--60. https://doi.org/10.1037/ppm0000089
Mill, J. S. (2003). On Liberty (D. Bromwich, G. Kateb, & J. B. Elshtain, Ed.). Yale University Press.
Sellars, J. (2012). Marcus Aurelius in Contemporary Philosophy. Dalam A Companion to Marcus Aurelius (hlm. 532--544). John Wiley & Sons, Ltd. https://doi.org/10.1002/9781118219836.ch34
Tomkins, L. (2011). The Myth of Narcissus: Ovid and the Problem of Subjectivity in Psychology. Greece and Rome, 58(2), 224--239. https://doi.org/10.1017/S0017383511000131
Uhls, Y. T., & Greenfield, P. M. (2012). The Value of Fame: Preadolescent Perceptions of Popular Media and Their Relationship to Future Aspirations. Developmental Psychology, 48(2), 315--326. https://doi.org/10.1037/a0026369
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H