Secara inheren, media sosial melibatkan presentasi diri dan umpan balik dari orang lain sehingga cukup masuk akal bahwa narsisme akan menjadi faktor utama tentang mengapa beberapa individu begitu royal terhadap media sosial.
Penelitian telah menunjukkan bahwa narsisme terhubung dengan keinginan untuk memiliki jejaring sosial yang besar dan kekhawatiran untuk mendapatkan perhatian orang lain (Barry dkk., 2017).
Bahkan penelitian lainnya menemukan bahwa keinginan untuk terkenal semata-mata demi popularitas itu sendiri adalah tujuan masa depan yang paling umum di antara sekelompok anak berusia 10-12 tahun; menutupi harapan untuk kesuksesan finansial, prestasi diri, dan rasa kebersamaan (Uhls & Greenfield, 2012).
Sampai batas tertentu, kita dapat memaklumi dan menerima dengan wajar fenomena tersebut, tetapi ketika ia berubah menjadi semacam "wabah", dalam artian terus meluas dan menyebar, tampaknya kita berada dalam masa yang penuh kerentanan dan ketegangan.
Masalah terbesar dari rasa lapar akan narsisme adalah sifat pemuasannya yang sementara. Sama halnya seperti kekuasaan, pemenuhan kebutuhan narsisme akan terasa melegakan dalam jangka yang sangat singkat, kemudian setelah itu, rasa laparnya kembali dengan lebih ganas dan liar.
Sebagai kaisar yang dikelilingi aneka kelimpahan, Marcus menyadari adanya hasrat yang membara dalam dirinya untuk mencapai ketenaran. Namun, alih-alih memuaskan hasrat tersebut dengan menggunakan privilege yang ada, ia justru mengendalikannya melalui gaya hidup yang bersahaja serta rasional (6.16).*
Kata "mengendalikannya" dipilih sebagai gambaran bahwa meskipun Marcus sebenarnya menolak untuk mengejar ketenaran, tetapi toh ia tetaplah seorang kaisar sekaligus filsuf yang terus dikenang hingga hari ini, atau kurang-lebih sembilan belas abad setelah kematiannya.
Itulah mengapa saya menyebutnya "Ironi Aurelius": ia menjadi terkenal bukan karena mengejar ketenaran, tetapi justru dengan menolaknya. Bagaimana kita dapat menguraikan persoalan tersebut?
"Ironi Aurelius"
Bagi Marcus, hidup adalah sebuah ziarah dan perjuangan. Waktu yang kita miliki hanyalah sesaat, alam semesta terus berubah, tubuh yang kita tunggangi semakin rapuh, panca indra beranjak lemah, masa depan bagaikan kabut, dan ketenaran cepat berlalu (2.17).
Dengan begitu, upaya untuk mencapai ketenaran hanyalah bentuk perjuangan yang sia-sia, ibarat seperti mengumpulkan tumpukan pasir yang sedemikian besar; esok hari, angin datang dan meniup habis semuanya. Marcus menulis (2.12):
Betapa cepat segala hal menghilang. Mereka berlalu dari dunia ini dan semua ingatan tentang mereka dalam sekejap saja segera memudar.
Hidup dipandangnya sebagai suatu perjalanan: kita memulai pelayaran hingga ke tepi pantai yang jauh, dan ketika tiba pada ujung cerita, kita keluar dari perahu (3.3). Di kala itu, kita tidak "kehilangan" masa lalu atau masa depan, sebab bagi Marcus, kita memang tidak pernah memilikinya (2.14).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!