Salah satu latihan yang membantu Marcus untuk menangkal kegilaan terhadap rupa-rupa kemasyhuran yang dimilikinya adalah memandang jauh dunia manusia yang begitu kecil dan "tidak penting".
Kadang-kadang, ia mendesak dirinya untuk memandang rendah kehidupan manusia dari ketinggian, menatap hamburan bintang-bintang yang gemilang di kegelapan malam seraya membayangkan dirinya berada di atas sana dan melihat bumi yang ditinggalinya sebagai "titik sepele" dari kemegahan alam raya (8.12).
Marcus mengingatkan (3.10):
Apakah kau mencari ketenaran sehingga kau akan hidup dalam ingatan orang-orang setelah kau mati? Ingatlah bahwa hari-hari mereka juga singkat; mereka hampir tidak punya waktu untuk mengenal diri mereka sendiri. Dan bahkan jika mereka hidup sepuluh ribu tahun dan menyimpan kenangan tentangmu, apa gunanya bagimu? Hidup hanyalah untuk yang hidup.
Dalam kacamata filosofis, Marcus amatlah mengerti tentang seberapa cepatnya semua hal dilupakan. Oleh karenanya, sambutan bising tepuk tangan dan sorakan dipandangnya sebagai tamparan tangan dan kepakan lidah belaka; tidak lebih dari itu. Marcus menulis (6.18):
Keinginan untuk diingat dan dipuji oleh generasi setelah kematianmu adalah sesuatu yang konyol. Mengapa mengharapkan kata-kata yang tidak akan pernah kaudengar dari orang-orang yang juga tidak akan pernah kaulihat?
Kendati begitu, fakta tetaplah fakta bahwa Marcus merupakan salah satu tokoh ikonis dari zaman klasik yang masih terus dikenang hingga hari ini. Kontradiksi antara penolakan dan penerimaan popularitas tersebut akhirnya menimbulkan suatu pertanyaan tersendiri: apa yang dilakukan Marcus untuk menjadi sedemikian terkenal dan dikagumi?
Kita dapat melihat bagaimana sebenarnya Marcus tidak mengejar ketenaran sama sekali. Apa yang dilakukannya adalah hidup sesuai prinsip pribadinya, baik sebagai kaisar, filsuf, maupun warga dunia.
Dengan demikian, bagi Marcus, ketenaran hanyalah suatu efek samping yang terjadi begitu saja dari apa yang dilakukannya, sehingga tidak perlu dikejar, apalagi hingga menyiksa diri; cukuplah hidup sebagaimana adanya diri kita dan biarkan ketenaran itu sendiri yang mengejar kita (10.36). Ia menulis (11.12):
Biarlah jiwamu tenteram dengan tidak mengejar (atau lari dari) apa pun.
Menurut Marcus, kecantikan dan keindahan tidak membutuhkan dukungan pujian atau apa pun. "Apakah permata yang murni dan terpotong halus akan kehilangan kilauan dirinya saat tidak dipuji?" tanyanya.
Hal yang sama juga berlaku untuk kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Apakah semua ini bergantung pada kontes popularitas? Bisakah salah satu dari mereka didiskreditkan oleh penghinaan? Jawaban Marcus jelas: tidak (4.20).
Dengan demikian, rahasia terkenal ala Marcus Aurelius adalah justru dengan tidak mengejar ketenaran, melainkan hidup sesuai prinsip pribadi dan menjalankan segala kewajiban dengan keseriusan yang jujur serta sederhana.
Popularitas hanyalah efek samping dari hal-hal yang kita lakukan dengan baik, dan begitu pula perihal narsisme yang sama sekali bukan tujuan akhir.Â