Marcus Aurelius merupakan satu di antara "lima kaisar yang baik" sepanjang berdirinya Kekaisaran Romawi (Ackeren, 2012, hlm. 494). Selepas kepergiannya, ia dikenang oleh penduduk Roma sebagai "Ayah yang Baik", "Kaisar yang Mulia", "Jenderal yang Berani", dan "Penguasa yang Bijaksana".
Ketika negerinya mengalami krisis ekonomi akibat wabah penyakit dan Perang Marcommanic, Marcus melakukan berbagai penyesuaian anggaran yang mengejutkan, seperti melelang permata dan rupa-rupa aset Kekaisaran, termasuk rela menjual harta-benda pribadinya demi sekadar memberi makan beberapa rakyatnya yang kelaparan di pinggir jalan.
Banyak orang menganggap Marcus sebagai contoh ideal dari utopia Plato tentang sosok Philosopher-King (Raja-Filsuf). Hal ini berkenaan dengan figur Marcus sendiri yang sangat menggemari filsafat, khususnya aliran Stoicism.
Selain disibukkan oleh kewajibannya sebagai kaisar, Marcus juga sangat rutin menyediakan waktu setiap malam untuk menyendiri, termenung lama sekali dalam keheningan, dan lalu menuliskan refleksi filosofisnya dalam suatu jurnal harian yang kelak dikumpulkan menjadi satu buku berjudul Meditations.
Manuskrip dan edisi cetak Meditations yang kita miliki hari ini sering ditampilkan dalam dua belas buku serta dibagi menjadi 488 entri; sebagian berisi petuah panjang, namun beberapa di antaranya hanyalah kalimat tunggal.
Sekurang-kurangnya, kita dapat menemukan dua pokok nasihat yang berulang-ulang dalam Meditations: kegusaran dan keinginan untuk terkenal. Kegusaran mewakili suatu kondisi dari hilangnya kekuatan rasio, sedangkan ketenaran dipandang sebagai keengganan untuk hidup di masa kini dan saat ini.
Wabah Narsisme
Dalam mitologi Yunani, diceritakanlah seorang pemuda tampan bernama Narcissus yang diimpikan oleh banyak orang. Satu per satu lamaran datang kepadanya, tetapi dia menolak dengan cukup kejam dan kadang-kadang seraya meremehkan pelamarnya.
Nemesis (dewi pembalasan) turun tangan untuk menghukum kesombongannya dengan sebuah siksaan khusus. Suatu hari, Narcissus melakukan perjalanan berburu dan menemukan kolam air yang begitu jernih.
Dia menatap sebuah bayangan indah hingga mengabaikan segala sesuatu di sekitarnya. Narcissus jatuh cinta pada bayangan tersebut dan tidak menyadari bahwa orang yang tengah dilihatnya adalah dirinya sendiri (Tomkins, 2011).
Kisah Narcissus kiranya dapat membantu kita dalam memahami istilah "narsisme". Dalam terminologi hari ini, narsisme dicirikan oleh presentasi diri yang berlebihan sebagai jalan pemenuhan kebutuhan self-esteem.
Sebagaimana telah kita ketahui, fenomena tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam peradaban manusia, tetapi menjadi semakin kentara belakangan ini berkat kehadiran media sosial.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!