Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Amor Fati: Biarkan Itu Menjadi Cintaku Selanjutnya

1 April 2022   06:00 Diperbarui: 1 April 2022   06:12 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prinsip amor fati membantu kita menerima diri sendiri dan mencintai setiap nasib | Ilustrasi oleh Limat MD Arif via Pixabay

Pada dasarnya, kita semua adalah makhluk yang hedonis. Istilah "hedonis" yang saya maksudkan tidak merujuk pada apa yang kita pahami hari ini sebagai gaya hidup glamor atau kegemaran menghabiskan uang tanpa perhitungan.

Dalam etika, hedonisme dimaknai sebagai perilaku yang berupaya untuk memaksimalkan kesenangan dan sebisa mungkin menghindari penderitaan. Sekilas gagasan tersebut tampak masuk akal dan kita pun dengan senang hati mengiyakannya melalui segala cara.

Namun, hasrat akan kesenangan yang tak terbatas ini nyatanya selalu terhalangi oleh apa yang kita temukan dalam keseharian kita. Fakta semacam ini memang tidak mudah untuk diterima, sekaligus berbahaya pula jika ditolak mentah-mentah.

Kerinduan kita terhadap wacana-wacana utopis seolah hanya dijawab oleh kebisuan alam semesta. Lantas kita berusaha menghibur diri sendiri dengan mengarang berbagai dongeng yang menggugah harapan-harapan, dan akhirnya kita jugalah yang mempercayai semua itu.

Sejarah manusia pun kemudian dipenuhi dengan beragam jawaban untuk satu pertanyaan yang sama tentang bagaimana mencapai kesenangan serta menghindari penderitaan. Secara naluriah, kita begitu tertarik dengan diskursus ini dan merasakan betapa kita adalah tokoh protagonisnya.

Tetapi, sejak pertama kita mengerti soal perasaan diri sendiri hingga rambut dipenuhi uban, kita tidak kunjung menemukan formula yang diinginkan dan selalu terjebak pada kesimpulan yang sama sepanjang kebisuan abadi alam semesta.

Kebisuan tersebut kiranya mesti dibaca sebagai sebuah makna tersirat, sebab alam semesta berbicara dengan bahasa yang berbeda; bahasa yang kadang-kadang mudah dimengerti dan lebih seringnya tidak terpahami.

Saya tidak menafsirkan kebisuan sebagai ketiadaan jawaban, apalagi keengganan untuk peduli. Mungkin karena manusia adalah makhluk yang mampu menalar dan mengindra, semesta ingin manusia lebih bersabar serta telaten dalam memahami tanda-tandanya.

Bagi segelintir orang yang akrab dengan balada kehidupan, yaitu mereka yang menanggung beban-beban berat dan tetap bertahan seiring melemahnya penalaran, kebisuan tersebut dibaca sebagai keutuhan hidup manusia itu sendiri di mana kebahagiaan dan penderitaan merupakan lubang dari selang yang sama; kedua-duanya saling meniscayakan.

Mereka mempertahankan kesetiaannya pada dunia yang kelihatannya tidak pantas untuk dipercayai. Tapi toh di balik segala kegelapan yang mereka lihat, ada dorongan cinta yang mengubah hitam menjadi putih, tawar hati menjadi antusiasme, dan olok-olok menjadi kedewasaan.

Alih-alih membuang muka dari segala pengalaman menyakitkan dan menyengsarakan, mereka menyambut semua itu dan menjalaninya tanpa dikurang-kurangi maupun dilebih-lebihkan.

Sikap yang demikian, tentu saja, bukanlah gagasan baru di mana para filsuf Stoa sudah mewanti-wanti tentang adanya kepaduan alam semesta, dan bahwa kita semestinya menyelaraskan diri dengan nada-nada semesta yang abadi.

Friedrich Nietzsche datang dengan sikap yang kurang-lebih sama.

Dalam bukunya Ecce Homo, Nietzsche menulis, "Formulaku untuk menjadi manusia yang besar adalah amor fati: bahwa seseorang tidak menginginkan keadaan yang lain, tidak di masa depan, tidak di masa lampau, tidak dalam seluruh keabadian."

Istilah "amor fati" melukiskan adanya amor (cinta) kepada fatum (nasib). Dengan begitu, amor fati bukan hanya mengandaikan sikap penerimaan terhadap nasib, tapi terutama adalah mencintai apa-apa yang telah datang, sedang hadir, dan akan tiba.

Mencintai realitas apa adanya tidak semestinya dipandang sebagai kenaifan yang paling munafik, namun justru diterima sebagai sikap yang luhur dan kesadaran mendalam tentang watak kehidupan yang bukan hitam atau putih, melainkan hitam sekaligus putih (abu-abu).

Bagi Nietzsche, kita terjebak dalam suatu "kekambuhan abadi" di mana selama periode waktu yang tak terbatas, segala sesuatunya juga berulang tanpa batas. Di sini ia berantusias dan mengembangkan kesediaan untuk menjalani kehidupan yang persis sama berulang-ulang.

Jika hari ini ia menderita oleh sesuatu yang tidak mampu dijelaskannya, maka ia bersedia mengalami keabsurdan yang serupa seraya memandang keseluruhan dan mengagumi semua hal yang mengekspos keindahan padanya.

Kecintaan kita akan takdir dapat menuntun kita dalam menghadapi realitas penderitaan secara radikal, sebab untuk mencintai apa yang diperlukan, kita tidak hanya dituntut untuk mencintai yang buruk bersama dengan yang baik, tetapi kita memandang keduanya sebagai satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Sikap amor fati tidak membawa kita pada harapan-harapan yang lebih besar sehingga kehendak untuk terus berjalan ke masa depan semakin membara. Sikap amor fati juga tidak memberi kita lebih banyak kendali atas dunia, melainkan bertanggung jawab atas cara kita memandangnya dan, dengan demikian, menanggapinya.

Daripada membawa kita ke dalam bayangan masa depan dan masa lalu yang delusif, sikap amor fati mengajak kita untuk mengharapkan apa yang ada senyata-nyatanya. Itu berarti, tidak mengharapkan segala hal yang tiada dan memilih untuk mencintai apa yang ada.

Seperti yang dikatakan Epictetus, "Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tetapi justru inginkan agar hidup terjadi sebagaimana adanya, dan jalanmu akan baik adanya."

Langkah semacam itu tidak bermaksud menghapuskan pernak-pernik masa depan atau melupakan semua kilauan masa lalu. Amor fati mengarahkan perhatian diri pada saat ini dan di sini, bukan pada apa yang sudah lenyap dan bukan pula pada apa yang mungkin menunggu.

Dengan begitu, segala bentuk penyesalan dianggap tidak perlu karena kekecewaan itu sendiri hanya akan melebih-lebihkan penderitaan. Bahkan rasa penolakan itu sendiri sama sekali tidak melenyapkan apa-apa yang dibenci; sebaliknya, semua itu malah membuat kita semakin tertekan dan tinggal lebih lama lagi dengan hal-hal yang kita benci.

Sikap amor fati tidak berupaya mengubah atau mengendalikan rupa-rupa hal yang tidak berada dalam kendali kita, sebab ketika kita tidak lagi mampu mengubah suatu keadaan, kita seolah sedang ditantang oleh semesta untuk mengubah diri kita sendiri.

Jadi sikap yang demikian itu tidak membantu kita untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang keras, melainkan membantu kita untuk mengidentifikasi ilusi diri sendiri tentang kehidupan dan memungkinkan kita untuk menjalani eksistensi yang lebih bermakna.

"Keinginan untuk hidup tanpa menolak apa pun dari kehidupan," tulis Albert Camus, "adalah kebajikan yang paling saya hormati di dunia ini." Setiap air mata dirayakan dengan semarak, karena air mata itu sendiri adalah saksi bahwa seseorang punya keberanian terbesar; keberanian untuk menderita.

Marcus Aurelius, salah seorang kaisar Romawi beraliran Stoa, percaya bahwa "segala sesuatu yang kita lempar ke bara api adalah bahan bakar untuk api itu." Menurut Aurelius, kita harus memperlakukan setiap hal yang terjadi dalam hidup kita sebagai bahan bakar untuk semua potensi kita.

Dalam artian, manusia hanya dapat mencapai pemenuhannya jika ia punya kekuatan untuk menerima nasib dan bersikap proaktif alih-alih reaktif. Ia tidak mengharapkan setiap hal menjadi pasti, sebab hasrat akan kepastian di dunia yang tidak pasti adalah absurd.

Pada akhirnya, sikap amor fati bukanlah suatu upaya untuk membunuh monster kehidupan. Lebih baik dari itu, kita didorong untuk berdiri tegap menatap monster tersebut dan perlahan-lahan menjalin pertemanan dengannya.

Hidup berarti kesediaan untuk mengambil tanggung jawab atas pencarian jawaban-jawaban yang tepat terhadap berbagai masalah dan memenuhi segenap tugas yang terus-menerus ditetapkan kepada setiap individu.

Seperti yang digemakan oleh Nietzsche, "Amor fati: biarkan itu menjadi cintaku selanjutnya!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun