Pada dasarnya, kita semua adalah makhluk yang hedonis. Istilah "hedonis" yang saya maksudkan tidak merujuk pada apa yang kita pahami hari ini sebagai gaya hidup glamor atau kegemaran menghabiskan uang tanpa perhitungan.
Dalam etika, hedonisme dimaknai sebagai perilaku yang berupaya untuk memaksimalkan kesenangan dan sebisa mungkin menghindari penderitaan. Sekilas gagasan tersebut tampak masuk akal dan kita pun dengan senang hati mengiyakannya melalui segala cara.
Namun, hasrat akan kesenangan yang tak terbatas ini nyatanya selalu terhalangi oleh apa yang kita temukan dalam keseharian kita. Fakta semacam ini memang tidak mudah untuk diterima, sekaligus berbahaya pula jika ditolak mentah-mentah.
Kerinduan kita terhadap wacana-wacana utopis seolah hanya dijawab oleh kebisuan alam semesta. Lantas kita berusaha menghibur diri sendiri dengan mengarang berbagai dongeng yang menggugah harapan-harapan, dan akhirnya kita jugalah yang mempercayai semua itu.
Sejarah manusia pun kemudian dipenuhi dengan beragam jawaban untuk satu pertanyaan yang sama tentang bagaimana mencapai kesenangan serta menghindari penderitaan. Secara naluriah, kita begitu tertarik dengan diskursus ini dan merasakan betapa kita adalah tokoh protagonisnya.
Tetapi, sejak pertama kita mengerti soal perasaan diri sendiri hingga rambut dipenuhi uban, kita tidak kunjung menemukan formula yang diinginkan dan selalu terjebak pada kesimpulan yang sama sepanjang kebisuan abadi alam semesta.
Kebisuan tersebut kiranya mesti dibaca sebagai sebuah makna tersirat, sebab alam semesta berbicara dengan bahasa yang berbeda; bahasa yang kadang-kadang mudah dimengerti dan lebih seringnya tidak terpahami.
Saya tidak menafsirkan kebisuan sebagai ketiadaan jawaban, apalagi keengganan untuk peduli. Mungkin karena manusia adalah makhluk yang mampu menalar dan mengindra, semesta ingin manusia lebih bersabar serta telaten dalam memahami tanda-tandanya.
Bagi segelintir orang yang akrab dengan balada kehidupan, yaitu mereka yang menanggung beban-beban berat dan tetap bertahan seiring melemahnya penalaran, kebisuan tersebut dibaca sebagai keutuhan hidup manusia itu sendiri di mana kebahagiaan dan penderitaan merupakan lubang dari selang yang sama; kedua-duanya saling meniscayakan.
Mereka mempertahankan kesetiaannya pada dunia yang kelihatannya tidak pantas untuk dipercayai. Tapi toh di balik segala kegelapan yang mereka lihat, ada dorongan cinta yang mengubah hitam menjadi putih, tawar hati menjadi antusiasme, dan olok-olok menjadi kedewasaan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!