Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Amor Fati: Biarkan Itu Menjadi Cintaku Selanjutnya

1 April 2022   06:00 Diperbarui: 1 April 2022   06:12 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang dikatakan Epictetus, "Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tetapi justru inginkan agar hidup terjadi sebagaimana adanya, dan jalanmu akan baik adanya."

Langkah semacam itu tidak bermaksud menghapuskan pernak-pernik masa depan atau melupakan semua kilauan masa lalu. Amor fati mengarahkan perhatian diri pada saat ini dan di sini, bukan pada apa yang sudah lenyap dan bukan pula pada apa yang mungkin menunggu.

Dengan begitu, segala bentuk penyesalan dianggap tidak perlu karena kekecewaan itu sendiri hanya akan melebih-lebihkan penderitaan. Bahkan rasa penolakan itu sendiri sama sekali tidak melenyapkan apa-apa yang dibenci; sebaliknya, semua itu malah membuat kita semakin tertekan dan tinggal lebih lama lagi dengan hal-hal yang kita benci.

Sikap amor fati tidak berupaya mengubah atau mengendalikan rupa-rupa hal yang tidak berada dalam kendali kita, sebab ketika kita tidak lagi mampu mengubah suatu keadaan, kita seolah sedang ditantang oleh semesta untuk mengubah diri kita sendiri.

Jadi sikap yang demikian itu tidak membantu kita untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang keras, melainkan membantu kita untuk mengidentifikasi ilusi diri sendiri tentang kehidupan dan memungkinkan kita untuk menjalani eksistensi yang lebih bermakna.

"Keinginan untuk hidup tanpa menolak apa pun dari kehidupan," tulis Albert Camus, "adalah kebajikan yang paling saya hormati di dunia ini." Setiap air mata dirayakan dengan semarak, karena air mata itu sendiri adalah saksi bahwa seseorang punya keberanian terbesar; keberanian untuk menderita.

Marcus Aurelius, salah seorang kaisar Romawi beraliran Stoa, percaya bahwa "segala sesuatu yang kita lempar ke bara api adalah bahan bakar untuk api itu." Menurut Aurelius, kita harus memperlakukan setiap hal yang terjadi dalam hidup kita sebagai bahan bakar untuk semua potensi kita.

Dalam artian, manusia hanya dapat mencapai pemenuhannya jika ia punya kekuatan untuk menerima nasib dan bersikap proaktif alih-alih reaktif. Ia tidak mengharapkan setiap hal menjadi pasti, sebab hasrat akan kepastian di dunia yang tidak pasti adalah absurd.

Pada akhirnya, sikap amor fati bukanlah suatu upaya untuk membunuh monster kehidupan. Lebih baik dari itu, kita didorong untuk berdiri tegap menatap monster tersebut dan perlahan-lahan menjalin pertemanan dengannya.

Hidup berarti kesediaan untuk mengambil tanggung jawab atas pencarian jawaban-jawaban yang tepat terhadap berbagai masalah dan memenuhi segenap tugas yang terus-menerus ditetapkan kepada setiap individu.

Seperti yang digemakan oleh Nietzsche, "Amor fati: biarkan itu menjadi cintaku selanjutnya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun