Alih-alih membuang muka dari segala pengalaman menyakitkan dan menyengsarakan, mereka menyambut semua itu dan menjalaninya tanpa dikurang-kurangi maupun dilebih-lebihkan.
Sikap yang demikian, tentu saja, bukanlah gagasan baru di mana para filsuf Stoa sudah mewanti-wanti tentang adanya kepaduan alam semesta, dan bahwa kita semestinya menyelaraskan diri dengan nada-nada semesta yang abadi.
Friedrich Nietzsche datang dengan sikap yang kurang-lebih sama.
Dalam bukunya Ecce Homo, Nietzsche menulis, "Formulaku untuk menjadi manusia yang besar adalah amor fati: bahwa seseorang tidak menginginkan keadaan yang lain, tidak di masa depan, tidak di masa lampau, tidak dalam seluruh keabadian."
Istilah "amor fati" melukiskan adanya amor (cinta) kepada fatum (nasib). Dengan begitu, amor fati bukan hanya mengandaikan sikap penerimaan terhadap nasib, tapi terutama adalah mencintai apa-apa yang telah datang, sedang hadir, dan akan tiba.
Mencintai realitas apa adanya tidak semestinya dipandang sebagai kenaifan yang paling munafik, namun justru diterima sebagai sikap yang luhur dan kesadaran mendalam tentang watak kehidupan yang bukan hitam atau putih, melainkan hitam sekaligus putih (abu-abu).
Bagi Nietzsche, kita terjebak dalam suatu "kekambuhan abadi" di mana selama periode waktu yang tak terbatas, segala sesuatunya juga berulang tanpa batas. Di sini ia berantusias dan mengembangkan kesediaan untuk menjalani kehidupan yang persis sama berulang-ulang.
Jika hari ini ia menderita oleh sesuatu yang tidak mampu dijelaskannya, maka ia bersedia mengalami keabsurdan yang serupa seraya memandang keseluruhan dan mengagumi semua hal yang mengekspos keindahan padanya.
Kecintaan kita akan takdir dapat menuntun kita dalam menghadapi realitas penderitaan secara radikal, sebab untuk mencintai apa yang diperlukan, kita tidak hanya dituntut untuk mencintai yang buruk bersama dengan yang baik, tetapi kita memandang keduanya sebagai satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sikap amor fati tidak membawa kita pada harapan-harapan yang lebih besar sehingga kehendak untuk terus berjalan ke masa depan semakin membara. Sikap amor fati juga tidak memberi kita lebih banyak kendali atas dunia, melainkan bertanggung jawab atas cara kita memandangnya dan, dengan demikian, menanggapinya.
Daripada membawa kita ke dalam bayangan masa depan dan masa lalu yang delusif, sikap amor fati mengajak kita untuk mengharapkan apa yang ada senyata-nyatanya. Itu berarti, tidak mengharapkan segala hal yang tiada dan memilih untuk mencintai apa yang ada.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!