Apabila pelaku dengan tenangnya mengakui bahwa pembunuhan dapat dibenarkan, hal ini harus dicurigai sebagai sikap ketidakpedulian yang menjadi ciri nihilisme. Saya pikir ledakan ini lebih menyerupai nyala panas suatu kesenangan yang mencekam, bukan suatu tantangan monoton yang dihasilkan oleh logika yang sedemikian lemah.
Lebih berbahayanya, perasaan ketiadaan nilai semacam itu bisa menghantam semua orang sewaktu-waktu dan mendorong keputusan yang serupa dengan pelaku pembunuhan.
Artinya, kita berada dalam bayang-bayang yang sama dengan seabrek opsi dan kesempatan untuk memilih keputusan yang berbeda, atau jika tidak, kita terjerumus ke jurang yang sama dalam kegelapan yang begitu dingin.
Di sini, pembunuhan merupakan dua aspek dari suatu sistem tunggal, yaitu sistem akal budi yang telah menyeleweng sekaligus kehendak bentuk kepuasan yang naif hanya karena adanya penderitaan yang terjadi oleh situasi tertentu.
Dengan cara penalaran seperti itu, pelaku barangkali meyakini dua hal yang saling bertentangan bahwa ia boleh membunuh dan ia juga tidak boleh membunuh.Â
Dan ia pun dibiarkan untuk memilih keputusan tanpa pegangan yang kuat, terbuai oleh nihilisme seraya juga tersesat dalam kesendirian, dengan pisau cutter di tangan dan rasa sesak.
Lantas sesungguhnya seberapa luas ruang yang memungkinkan peranan kita? Haruskah kita mengecualikan kesulitan satu orang dan tetap melanjutkan kebahagiaan kita sendiri? Bukankah kita pun tidak bisa menghapus fenomena semacam itu karena tidak mungkin mengendalikan segalanya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan saya biarkan tetap mengambang, sebab yang demikian itu tidak bisa direduksi oleh nilai-nilai saya pribadi dan perlu disesuaikan dengan posisi masing-masing individu yang merasa peduli terhadapnya.
Yang jelas dari segi kemanusiaan, tidak ada penjelasan yang cukup memadai untuk menyalahkan pelaku, tetapi dari segi hukum pidana, tragedi itu secara otomatis menjelaskan dirinya sendiri.
Pada akhirnya, saya barangkali telah berupaya untuk menjelaskan suatu tindakan yang tidak sepenuhnya dapat dipahami. Tetapi sekurang-kurangnya, saya menambahkan pertimbangan-pertimbangan baru dalam diskusi publik dan mencegah terjadinya penghakiman yang semena-mena.
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa tragedi ini terus-menerus meneror saya dengan perasaan absurd, maka saya tidak akan memaparkan kesimpulan yang tegas, sebab absurditas itu sendiri tidak memungkinkan adanya ketegasan dan kejelasan.