Tetapi perasaan absurd yang meneror saya tidak bisa dihapuskan oleh jawaban apa pun atas pertanyaan tersebut, karena jika kita melihat secara makro-sosial, misalnya, kita baru saja bersuka-cita atas terlaksananya ajang internasional MotoGP di Indonesia.
Maksud saya, kesenjangan yang amat jauh antara apa yang kita saksikan di Mandalika dengan kemelaratan pelaku sebelum memutuskan tindakannya adalah sesuatu yang menjadi ironi tersendiri.
Dalam konteks ini, kita lebih menyerupai kaum utilitarian yang memaksimalkan kebahagiaan mayoritas dan mengabaikan keluhan-keluhan minoritas. Meskipun tidak bisa dikaitkan secara langsung, tetapi secara garis besarnya, ada semacam trade-off yang kita pertaruhkan antara kemegahan Mandalika dengan kemiskinan masyarakat.
Saya menyebut "masyarakat" secara umum untuk alasan yang jelas bahwa rasa menderita dan melarat itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak eksklusif terjadi pada pelaku pembunuhan saja, melainkan juga kepada mereka yang memilih sikap lain dalam menanggung kepedihan hidup.
Tetapi sekali lagi, kita mesti berupaya untuk memahami dunia mental pelaku sehingga rasa absurd itu sendiri kiranya telah menggerogoti pelaku dari dalam secara perlahan.
Kesadaran tentang absurditas tersebut, sewaktu ia menyatakan hendak mencari suatu alasan rasional atas keputusannya, telah menyebabkan pembunuhan menjadi soal ketidakpedulian belaka dan terasa mudah untuk dibenarkan.
Jika ia tidak percaya lagi pada apa pun, jika segala sesuatu tidak punya makna, dan jika ia tidak menerima sistem nilai lain untuk menjadi opsinya, maka segala sesuatu dapat terjadi dan tidak ada lagi rasa bersalah.
Tidak akan ada penyesalan dan rasa tertekan, sebab ia sendiri tidak akan dikatakan benar, tetapi juga tidak salah. Mungkin pikirnya, membunuh dan penganiayaan hanyalah sekadar nasib yang mesti dijalani tanpa kompromi.
Dengan demikian, ke mana pun pelaku berpaling, dalam dunia yang penuh penyangkalan dan nihilisme, pembunuhan tetap dianggap sebagai sebuah pilihan yang layak dipilih. Sedangkan bagi kita sebagai penonton, pembunuhan tidak dapat diterima dan bunuh diri pun juga dianggap tidak masuk akal.
Sudah barang tentu kita harus memiliki suatu sikap terhadap pembunuhan. Tetapi secara keseluruhan, kita juga harus mampu mengadili sesuatu berdasarkan pengalaman. Lebih-lebih lagi pembunuhan yang disesuaikan dengan logika---jika logika memang dapat dipenuhi dengan cara demikian.