Justru karena alasan pelaku berada di tepi batas rasional dan irasional, pastinya ada beberapa hal darinya yang patut diteliti lebih lanjut dan bagaimana supaya orang-orang yang berniat serupa dapat menahan tindakannya, serta memilih keputusan yang secara moral dapat dibenarkan.
Sekarang apabila motif pelaku diterima sebagai ungkapan yang jujur dan tanda kemelaratan yang tak tertanggungkan, siapa sebenarnya yang menjadi korban?
Jika nasib dan kehidupan dapat dipersalahkan, kiranya perlu menganggap bahwa pertama-tama sang ibulah yang menjadi korban, lantas anak-anaknya adalah "korban dari korban" yang dibuat frustrasi oleh kesewenang-wenangan nasib.
Tetapi bagaimana mungkin sang ibu menjadi korban sekaligus pelaku?
Pertanyaan tersebut memang tidak perlu untuk dijawab karena datang dari premis yang mengandung cacat, bahwa penuduhan terhadap nasib dan kehidupan itu sendiri tidak dapat dibenarkan oleh argumen apa pun, termasuk siapa yang mesti dipersalahkan tidaklah jelas.
Korban yang sudah terang-benderang harus diakui adalah ketiga anaknya, termasuk barangkali kerabat-kerabat terdekatnya yang setelah ini mempunyai kewajiban besar dalam merawat dua anak pelaku dan menanggung rasa malu yang sesekali terasa menyakitkan.
Namun kesimpulan semacam itu hanya akan membuat kita berhenti pada sikap apatis, sebab akar permasalahannya gagal direnungkan. Konsekuensinya, tragedi-tragedi serupa yang menunggu waktunya untuk diberitakan tidak akan bisa dihentikan dan bahwa kita sebagai manusia telah melecehkan nilai-nilai manusia itu sendiri.
Bagi saya pribadi, tragedi ini terus-menerus mengantarkan saya pada perasaan absurd, seolah tengah berdiri di persimpangan jalan tanpa tujuan dan arah mana pun terlihat sama.
Absurditas yang dimaksudkan juga merujuk ke sikap pelaku yang menyatakan kasih sayangnya dengan kucuran "darah suci" dari leher anaknya, kemudian pertobatan dianggapnya sebagai cara "mencuci tangan" dari noda-noda dosa yang melekat dalam dirinya.
Kita bisa membaca adanya keputusasaan yang mendalam dari pelaku; semacam perasaan jujur akan ketidakmampuannya dalam membahagiakan korban. Dalam pikirnya, akan lebih baik jika ketiga anaknya tidak mengalami nasib malang seperti dirinya, dan bahwa satu-satunya jalan yang masuk akal adalah membunuh mereka.
Kini haruskah kita menyalahkan pelaku karena ketidakbecusannya dalam mempertimbangkan nilai-nilai, atau mestikah kita memisahkan hasrat membunuh dengan kehendak pelaku yang mewakili kasih sayang seorang ibu?